Hari
ini aku sangat bad mood karena harus kembali ke asrama. Tapi aku juga
sangat bahagia karena aku berhasil melewati
tantangan yang diberikan oleh teman-temanku, yaitu untuk tidak berkomunikasi apapun dan lewat apapun
degan laki-laki gila itu. Dan aku juga sudah berhasil ngehack facebook nya.
Dan
lebih bahagianya lagi sekarang aku sudah
mulai duduk dikelas XI. Aku berharap dikelas
ini aku bisa lebih baik dari kelas X lalu.
Saat
aku masuk kamar, aku heran kenapa teman-temanku
bertepuk tangan. Tiba-tiba Via menepuk
punggungku dari belakang
kemudian merangkulku. Mungkin saat itu
hanya terdiam seperti orang ling-lung karena tidak tahu
maksud dari semua ini.
“Kamu hebat.!” Via mengucapkan
kata-kata yang membuatku semakin bingung.
“Maksudnya hebat????” Aku sangat
penasaran.
Tiba-tiba Via menarik tanganku untuk duduk
bersama teman-temam diatas kasur.
“Kalian semua itu kenapa sih? kok pada
aneh?”
“Aneh? Aneh apanya?
Kita lagi bahagia
karena kita punya
temen sehebat kamu.”
“Maksudnya apa, Via?”
“Temen-temen... kok dia agak
bego’
ya setelah berhasil melewati tantangan dengan baik..??’
“Tantangan????” Aku hanya
menggaruk-garuk kepalaku.
“Iya, tantangan, masa’ lupa sih?”
Sahut Anisa.
“Oooooohhhhh.... tantangan itu..” entah
mengapa aku bisa menjadi
lola seperti biasanya.
Semua temanku menertawakanku.
“Gimana, hebatkan aku?? Aku
buktikan ke kalian
semua kalau itu
adalaah tantangan yang sangat
gampang.”
“Hebat, hebat,
hebat..!!! itu baru yang namanya Riani.”
“Thank you, thank
you..”
Aku
seneng banget karena teman-temanku
sangat bangga dengan usahaku. Aku juga memberi tahu mereka kalau aku juga
berhasil nge-hack facebook cowok gila
itu. Tapi sayangnya tidak semuaa temanku yang setuju dengan tindakan itu karena
bagi mereka itu terlalu ketelaluan dan mereka juga takut kalau cowok gila itu
tau bahwa aku yang melakukan itu semua.
_______----_______
Malam
ini mataku sangat susah untuk dipejamkan. Aku masih memikirkan masalahku yang
begitu banyak. Mulai dari masalah orang tua, masalah dengan saudara-saudara dan
masalahku yang sebenarnya tidak betah tinggal di asrama.
Aku memutuskan untuk pergi
keluar kamar. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa kalau aku tidak
punya siapa-siapa di dunia ini. Aku bingung harus kemana. Jika berada dirumah
aku merasa tidak betah karena banyak masalah dengan saudara-saudara. Apalagi
berada diasrama, malah nggak betah. Kalau ikut orang tua di luar Jawa, aku nggak
suka. Aku merasa kalau lebih enak hidup di Jawa.
Aku
ingin liburan Ramadhan besok, aku tidak pulang kerumah saudaraku. Tapi aku
bingung, kalau aku tidak pulang kerumah saudaraku, aku harus pulang kemana?
Lama-
lama mataku sedikit berat, mungkin karena angin malam diluar kamar sangat
dingin sehingga membuatku ngantuk.
Akhirnya aku masuk kekmar dan tidur.
Seperti biasa, pengurus asrama membangunkanku dan yang
lain pada pukul 03.30 malam. Sangat melelahkan, aku hanya tidur beberapa jam
saja. Terpaksa aku harus bangun dan mulai melakukan kegiatan smpai pukul 06.30.
Jika tidak, besok malam aku akan berurusan dengan pengurus karena telah
melanggar peraturan.
Tuhan....Kapan semua
ini akan berakhir?????!!!!!!
Setelah kegiatan selesai, aku mulai bersiap-siap untuk
pergi sekolah dan memulai hari baruku dikelas XI. Semoga hari ini adalah hari
yang menyenangkan dalam hidupku.
Hari ini disekolah melaksanakan apel bersama karena ini
adalah tahun ajaran baru. Aku sebel
banget karena harus melihat cowok gila itu lagi, apalagi nanti aku sekelas
dengan dia karena kita mengambil jurusan yang sama.
Setelah apel selesai, aku pun masuk kelas dengan
teman-temanku. Aku melihat cowok gila itu menatapku dengan aneh. Tapi aku tidak
memperdulikannya. Aku hanya menatapnya dengan sinis lalu duduk dibangkuku.
Hari in PBM belum dimulai, mungkin PBM normal satu minggu
lagi. Anak-anak didalam kelas banyak yang bercerita tentang pengalamannya saat
liburan kemarin. Sekilas aku mendengar cowok gila itu mengucapkan kata-kata
kotor karena dia kesal dengan seseorang yang nge-hack facebook nya.
Aku tidak peduli biarpun dia marah. Aku hanya diam seolah
tidak tahu apa-apa dan tidak mau ikut campur dengan itu semua. Aku nggak peduli
biarpun aku dibilang lempar batu sembunyi tangan, dan aku nggak peduli jika aku
dibilang licik atau jahat, yang penting aku PUAS.
Aku melihat dia keluar dari kelas dan terlihat seperti
orang kebingungan. Aku penasaran, dia mau ngapain
ya.? Aku terus memperhatikan
gerak-geriknya. Ternyata dia keluar kelas karena dipanggil sama cewek plin-plan itu.
Rasanya kepalaku sudah mulai keluar tanduknya. Sebenarnya
aku males banget kalau harus cemburu.
Nggak penting banget. Aku terus
memperhatikan mereka dengan pandangan
sinis. Aku curiga, sepertinya cewek plin-plan
itu cerita kalau selama liburan kemarin aku terus-terusan neror dia.
Cewek
plin-plan itu namanya Ovy, dia adalah siswi kelas XII. Aku
menyebut dia cewek plin-plan karena
dia itu aneh. Disini bilang A, disana bilang B. Kemarin bilang A, sekarang
bilang B.
Dia
pernah bilang ke Dika (cowok yang aku sebut cowok gila), kalau dia belum pernah
pacaran, tapi dia bilang ke temannya sendiri kalau mantannya ada enam puluh.
Dan bahkan aku pun tahu salah satu mantannya yang katanya masih dia sayang.
Dilain
hari, dia pernah bilang kalau dia suka dengan alumni sekolahku. Tapi dia juga
bilang kalau dia ngincar dua orang temanku yaitu Akbar dan Dika. Aku sebel karena kenapa dia lebih cenderung
ke Dika.
Dia
selalu bersikap sok baik, sok lugu, dan sok polos. Padahal dia itu cewek penipu yang nggak tahu malu. Aku
heran kenapa banyak cowok yang tertipu dengan sikap dan paras si Ovy, termasuk
Dika. Yaahhh..mungkin karena mereka belum tahu siapa Ovy itu.
Sebenarnya aku sayang banget
sama Dika, bahkan sampai sekarang. Tapi aku jengkel, Aku sakit hati, aku kecewa
sama dia. Dia Cuma bisa janji, janji, dan janji. Dia selalu mengelak dari
kesalahannya. Aku kecewa sama dia.
Biarpun aku sayang sama dia,tapi aku ingin menghancurkannya
karena aku juga membencinya, aku ingin selalu membuat dia marah. Aku ingin
membuat dia merasakan sakit hati, aku ingin suatu saat nanti dia sadar kalau si
Ovy bukan cewek yang baik, aku ingin dia
menyesal dengan apa yang dia lakukan kepadaku. Aku JANJI, aku akan balas
semuanya.
Aku jenuh dikelas. Aku ingin kekamaar untuk tidur
sebentar. Itu lebih membuatku nyaman daripada dikelas, melihat Dika ngobrol berdua dengan Ovy diluar kelas.
Aku lewat didepan mereka dengan menatap sinis lalu
memalingkan panangan.
“Riani..!” aku
mendengar Dika memanggilku.
“Ehm?” Aku hanya menghentikan langkahku tanpa menolehnya.
“Kenapa liburan kemarin nomor hp mu nggak aktif? Kamu ganti nomor?”
“Ngapain sih
tanya-tanya? Emang penting buat kamu?”
Setelah menjawab pertanyaannya, aku kembali melanjutkan
langkahku. Aku tidak peduli biarpun jawabanku tidak memuaskan dan bahkan
mungkin menjengkelkan.
Dibawah tangga kelas,
aku melihat Anisa dan Azizah hendak naik ke kelas.
“Ri, gimana, berhasil?”
“berhasil dong,
Zah...Dan aku juga berhasil neror si Ovy. Ha ..ha..ha....”
“bisa nge-hack nih sekarang...tapi Fb ku jangan di hack juga ya.. Btw, waktu
kamu neror si Ovy, tanggapannya gimana?”
“Bisa dong...Tenang aja Zah..aku nggak akan nge-hack fb orang yang baik dan
sering membantu aku. Mm...kalau masalah Ovy, nanti aja ya, soalnya ceritanya
panjang. Aku mau kekamar, jenuh dikelas.”
“Tapi janji ya..nanti
kamu harus cerita.”
“Oke. Ya udah, Zah, An,
aku kekamar dulu. Bye...”
Saat aku berjalan dengan santai, tiba-tiba aku mendengar
ada suara wanita yang memanggilku dari atas. Dan aku pun menoleh ke atas.
“Apa?” Aku sedikit
terkejut karena yang memanggilku adalah Ovy.
“Aku nggak nyangka kalau kamu kayak gitu.” Setelah bicara begitu, dia langsung
pergi.
“Aneh, maksudnya apa
coba? Dasar Setres. Huft..!”
Saat aku tiduran dikamar, entah mengapa aku teringat
dengan apa yang dikatakan Ovy. Maksud dia apa bicara seperti itu.
“Apa dia mendengarkan
apa yang aku bicarakan dengan Anisa dan Azizah ya...?” Gumamku dalam hati.
Lama-lama aku tidak memikirkan itu lagi. Aku membiarkan
fikiran itu berlalu. Sekarang aku mau tidur dulu meskipun hanya sepuluh menit
karena setelah itu harus kembali kekelas. Biarpun tidak ada pelajaran, aku
tetap harus kembali kekelas, siapa tahu saja ada wali kelas masuk.
Setelah aku bangun aku langsung kekelas. Aku tidur
terlalu nyenyak. Aku tidur selama dua puluh lima menit. Aku berjalan cepat
menuju kekelas. Dan ketika sampai ditangga, aku langsung berlari. Siapa tahu
dengan lari ditangga, berat badanku bisa sedikit turun. Sebenarnya aku nggak
gemuk, hanya saja aku ingin berat badanku turun lagi.
Langkahku terhenti seketika karena tiba-tiba Dika dan Ovy
muncul dihadapanku dengan tatapan aneh.
“Kalian ngapain sih? Ganggu
jalan orang tau!”
“Kamu baru diganggu jalannya aja marah, gimana kalau hidupmu dan privasimu
diganggu orang?”
“Ya aku marah lah! Emang tuh orang kurang kerjaan apa ganggu
hidup ku, apalagi privasiku??!! Minggir! Aku mau lewat!”
“Kamu jelaskan semua ke kita dulu, setelah itu kamu boleh
pergi.” Ovy meyuruhku menjelaskan sesuatu yang aku tidak tahu apa masalahnya.
“Jelasin apa coba? Dasar gila. Minggir!” aku mendorong
pundak kiri Ovy
“Riani!!” Dika
memanggilku dengan nada tinggi.
Spontan aku
menghentikan langkahku dan menoleh kearahnya.
“Apa
lagi sih?”
Perlahan Dika berjalan
mendekatiku. Aku hanya memalingkan
pandangan dengan sinis.
“Bisa sopan nggak,
kalau sama kakak kelas?”
“Aku bersikap seperti orang bersikap. Ovy aja orannya nggak punya sopan santun,
suka ganggu kebahagiaan orang. So, ngapain
aku harus sopan sama cewek kayak dia.”
”Kalau punya mulut dijaga, ya?!”
“Sudalah, Dik. Nggak
papa kok.”
“Tapi dia nggak sopan sama kamu. Kamu itu lebih tua dari dia, dan kamu kakak
kelasnya dia.”
“Sudahlah, nggak papa.”
“DASAR TOPENG! Pinter banget sih tuh cewek.” Gumamku
dalam hati ya sudah sangat muak dengan sandiwaranya.
“Riani, disini aku nggak mau ngomong banyak sama kamu,
aku cuma mau tanya sama kamu. Apa alasan kamu neror Ovy, dan nge-hack fb ku?”
“Maksud kamu apa sih? Aku nggak tau apa-apa tentang itu. Kurang kerjaan aja
ngurusin begituan.”
Aku heran, kenapa Dika bisa tahu kalau aku yang melakukan
itu semua. Apa mungkin firasat ku benar, kalau misalnya Ovy mendengar apa yang
aku bicarakan dengan Anisa dan Azizah, lau dia adukan semua itu ke Dika.
“Kurang kerjaan?? Berarti emang benar kalau kamu itu
kurang kerjaan. Kamu nggak usah mengelak, Aku sma Ovy sudah tau semua, kalau
kamu suka ganggu hidup orang dan PRIVASI orang.”
Aku hanya terdiam. Aku bingung harus jawab apa.
“Udalah Ri, kamu jujur aja dan kasih alasan kenapa kamu neror aku dan
nge-hack.............”
“Oke!!! Emang aku yang ngelakuin itu semua. Terus kalian
mau apa?!!!
“Maksud kamu apa
ngelakuin itu semua??!!!
“Itu karena aku nggak suka kalau kamu deket-deket sama Ovy Da itu bukan cewek
yang baik. Dia itu plin-plan, penipu, kamu nggak tahu dia sebenarnya, kamu
nggak tahu rencana dia. Aku nggak mau orang yang.....orang yang........”
“Orang yang apa??!!!”
“orang yang aku sayang
jatuh dalam perangkapnya, dan yang nantinya akan sakit hati atau kecewa cuma gara-gara cewek kayak dia!!!”
“Sayang?? Sayang apa maksud kamu? Aku justru merasa kalau
kamu benci sama aku. Aku menyesal pernah baik sama kamu, dan aku bersyukur
karena aku nggak jadi suka sama kamu! Belum apa-apa aja, kamu udah kayak gini!”
Mataku menatap tajam matanya. Aku sakit hati dengan
kata-kata yang terakhir dia ucapkan. Aku menahan air mata ku agar tak jatuh,
biarpun saat itu hatiku sudah menangis dan menjerit karena kata-katanya yang
sangat menusuk.
“Aku nggak nyangka kamu bisa ngomong sepereti itu. Aku
kecewa sama kamu. Semua yang dulu pernah kamu katakan adalah omong kosong
belaka.”
“Anggap saja kalau aku nggak
pernah berkata dan berjanji apa-apa. Kata-kata yang seperti dulu pernah aku
katakan tidak pantas diberkan untuk orang seperti kamu! Pantas saja orang yang
kamu suka di masa SMP mu tidak membalas rasa sayangmu, itu karena memang kamu
nggak pantes dapat itu semua. Kamu itu cewek licik!”
“Oke, kalau memang kamu seperti ini. Tapi asal kamu tahu,
aku nggak terima dengan semua kata-katamu. Ingat!! Aku akan balas semuanya!!!”
Aku sudah tidak sanggup lagi melihatnya. Aku langsung
masuk kedalam kelas dengan hati nyang hancur. Hari ini adalah hari yang sangat
buruk. Aku sangat membenci hari ini. Tapi aku tidak akan melupakan hari ini
seumur hidupku.
Dibangkuku, aku hanya
menunduk, dantanpa kusadari kalau air mataku menetes. Azizah, Anisa, Via, dan
Camellia datang menghampiriku.
“Riani, kenapa
nangis..???” Tanya Camellia dengan lembut.
“Kamu kenapa, Ri?” Via
bertanya dengan tegas.
Aku
bingung harus jawab apa, kalau aku jujur, pasti mereka akan marah sama Dika,
apalagi Via. Dia bisa melakukan apa saja kalau sudah marah.
“Aku nggak papa kok, Cuma
kangen sama ortu aja.”
Terpaksa aku berbohong
dengan mereka. Untung saja mereka percaya dengan alasanku. Tapi aku melihat Via
sepertinya dia tidak percaya dengan apa yang aku katakan.
“Aku kekamar mandi dulu ya.. malu kalau nangis disini..”
Aku meninggalkan mereka
dibangkuku. Aku nggak mau mereka curiga kalau sebenarnya aku menangis bukan karena
orang tua.
Saat aku menangis, aku berfkir untuk apa aku menangisi
orang seperti itu. Akupun segera mengusap air mataku.
“Jadi gini ya, yang namanya Riani itu?” ada salah satu
temanku berjalan dengan Dika, dia menatapku dengan tatapan ilfeel. Apa mungkin
Dika menceritakan masalah ini pada teman-temannya.
Hal itu benar-benar membuatku semakin marah. Aku tidak
peduli dengan apa yang dia katakan. Aku terus melanjutkan langkahku menuju
kamar mandi.
Aku benar-benar tidak menyangka orang yang aku sayang
sepert ini. Aku kira dia sadar dan akan meminta maaf, tapi ternyata dugaanku
salah.
Setelah dari kamar mandi, aku tidak kembali kekelas lagi.
Aku langsung pergi kekamar. Aku ingin memenangkan diri dikamar karena aku tidak
mau melihatnya lagi.
Lama kemudian, semua temanku sudah kembali kekamar. Aku
bersaha untuk terlihat ceria seperti biasanya. Aku tidak mau memperlihatkan
kesedihanku. Aku akan berusaha merahasiakan apa yang aku rasakan saat ini.
Hari ini kegiatan-kegiatan diasrama mulai kujalani lagi seperti
biasanya. Aku berharap ini semua segera berakhir. Aku benar-benar tidak betah
berada disini. Apalagi ada masalah seperti tadi.
Ketika Sore hari, aku berpura-pura sakit. Aku mengatakan
pada teman-temanku kalau kepalaku pusing. Aku berbohong seperti itu karena aku
ingin break dari kegiatan–kegiatan
asrama yang begitu berat.
Seharian aku hanya merebahkan diri dikasur. Sebenarnya
aku merasa jenuh jika hanya diam tanpa gerak. Lalu aku memutuskan untuk
melanjutkan menulis ceritaku yang sudah ku buat sejak kelas IX.
Ketika semua kegiatan sudah selesai, teman-teman kembali
kekamar untuk tidur. Mereka tidak boleh tidur terlalu malam, maximal hanya
sampai pukul 22.00. itu bertujuan agar besok mereka bisa bangun di waktu yang
ditentukan, yaitu pukul 03.30 dan bisa melakukan kegiatan dengan baik.
Aku tidur disebelah Via dan Anisa. Sebelum tidur, Anisa
selalu menggangguku.
“Eh, Ri, kamu bisa
sakit? Tumben?” Anisa selalu bertanya seperti itu ketika aku sakit.
“Aku kan manusia, ya
bisa sakit lahhh....Aku mau tidur. Jangan ganggu aku.”
“Huft! Kalau ngantuk aja nggak mau diganggu, coba kalau nggak ngantuk, pasti
gangguin orang melulu.”
________----_______
Seperti biasanya, pengurus membangunkanku dan yang lain
pada pukul 03.30. Untung saja aku tidak tidur terlalu malam, jadi hari ini aku
lebih mudah dibangunkan. Dan aku bisa melakukan kegiatan dengan lebih fresh.
Setelah kegiatan selesai, aku mulai bersiap-siap pergi ke
sekolah. Ya, beginilah kegiatan ku sehari-hari di asrama, sangat membosankan.
Setelah semua siap, aku danteman-temanku berangkat
sekolah. Kita semua langsung masuk ke keles tanpa melakukan apel bersama
seperti dihari pertama. Dan hari ini wali kelasku masuk ke kelas untuk
mengadakan pemilihan pengurus kelas.
\ Setelah selesai pemilihan, wali kelasku
kembali kekantor. Kelaspun menjadi menjenuhkan lagi karena tidak ada kegiatan
didalamnya.
“Hello semua..! Aku punya mangga nih....kita makan yuk..!
daripada nganggur mendingan makan mangga.” Tiba-tiba Izza masuk dengan membawa
beberapa mangga.
“Waahhh..!!! pintar banget kamu, ya udah, ayo kita makan.”
Aku
dan teman-temankupun makan mangga bersama-sama. Dan setelah mangganya habis,
teman-temanku menyuruhku mencuci pisau yang telah dugunakan untuk mengiris
mangga tadi.
Sebenarnya
aku males banget disuruh mencuci
pisaunya karena harus naik turun tangga, capek. Tapi nggak papa lah, lagi pula
aku juga mau mengambil minum dikamar.
Saat
aku keluar kelas, aku melihat Dika dan Ovy sedang ngobrol berdua. Huft, rasanya ingin kubunuh saja dengan pisau yang
aku pegang saat ini.
“Ri,
mau kemana?
Aku heran, kenapa Si
Ovy menyapaku? Apa dia hanya ingin cari muka? Aku tidak memperdulikan Ovy, dan aku
tidak menjawab pertanyaannya.
“Kalau di tanya itu dijawab.”
Kenapa sih setiap kali
aku bersikap tidak enak dengan Ovy, Dika selalu tidak terima? Sebel deh..!
“Ovy, kamu itu ngapain sih pakek nyapa aku segala? Sok
baik! Mau cari muka ya kamu?!”
“Kamu kok ngomongnya
gitu sih? Aku kan berniat baik, cuma ingin nyapa kamu aja.”
“Hallah! Ngaku aja
kalau mau cari muka, aku tuh tahu semua rencana kamu.”
Aku melihat Ovy sudah mulai marah. Matanya melotot
menatapku.
“Nggak usah melotot,
biasa aja kalau lihat.” Ucapku sinis.
“He, Riani, lama-lama
kamu kok semakin nggak sopan sih sama kakak kelas? Aku ini bicara baik-baik
sama kamu.”
“Itu urusanku.
Masalah?”
“Kamu tuh ya........?”
Ovy terlihat sudah benar-benar marah. Tangannya sudah
mulai melayang dan terkena wajahku. Dan saat itu tanganku yang sedang memegang
pisau reflek kuarahkan diwajahnya. Spontan Dika menahan tanganku agar pisau
itutidak benar-benar terkena Ovy.
Ovy terlihat sangat ketakutan. Dia mendekatkan badannya
kebadan Dika. Itu membuatku semakin kesal dan semakin berusaha agar pisau yang
aku pegang bisa benar-benar terkena wajahnya.
Aku terus berusaha melepaskan tanganku dari Dika. Tapi sayang, Dika berhasil menagmbil pisau
itu dan entah sengaja atau tidak pisau itu mengenai dadaku bagian atas sebelah
kiri. Dan aku pun reflek melepaskan pisau itu.
“Aaaauuuuww...!” Aku sedikit menjerit karena itu terasa
sakitdan darah pun mulai mengalir dari situ.
“Ya ampun! Riani, maaf, aku nggak sengaja.” Dika terlihat sangat menyesal.
Aku tidak peduli biarpun dia menyesal. Aku benar-benar
kecewa dan sakit hati dengan perbuatannya yang tidak hanya meyakiti hati tapi
juga menyakiti fisik. Dia melakukan itu hanya demi membela seorang wanita yang
membohonginya.
Aku memegang lukaku dan berlari turun dari kelas. Aku
heran. Kenapa dia tidak mengejarku dan meminta maaf. Apa mungkin dia sengaja
melakukan ini semua. Baiklah, jika ini yang akan membuatnya bahagia dan tenang
aku akan pergi. Tapi biarpun aku pergi, aku akan tetap menepati janjiku bahwa
aku akan MEMBALAS semuanya.
Hari itu juga aku kabur dari sekolah dan juga asrama.
Untung saja satpam tidak mecegahku. Aku berlari menyusuri jalan. Aku tidak tahu
harus pergi kemana. Aku benar-benar bingung. Tidak mungkin aku kembali kerumah
saudara-saudaraku karena mereka akan memarahiku jika tahu aku kabur dari
asrama.
Aku berjalan dengan menunudukkan kepala. Itu membuatku
tidak sadar kalau ada mobil yang melintas didepanku dan akan menabrakku. Aku
berusaha menghindar tapi semua itu terlambat.
Mobil itu telah menabrakku sehingga aku sedikit tidak
sadarkankan diri. Kepalaku terasa sangat pusing. Tapi aku masih bisa melihat
yang ada disekitarku.. Aku melihat ibu-ibu turun dari mobil yang menabrakku.
Dia meminta bantuan orang-orang yang ada disitu untuk membawaku kedalam
mobilnya. Dan setalah berada didalam mobilnya, aku sudah tidak sadarkan diri
lagi dan aku tidak tahu apa yan terjadi setelah itu.
________----________
Aku merasa sangat berat saat membuka mata. Sekelilingku
terlihat samar. Aku tidak tahu dimana diriku saat itu. Saat aku melihat
kesamping, aku melihat ibu-ibu yang menabrakku tadi berada disebelahku sedang
tertidur.
Aku memegang tangannya dengan pelan. Dia pun terbangun
dan terlihat sangat bahagia.
“Kamu sudah sadar,
nak?”
“Saya dimana?” tanyaku
bingung dengan memegang kepalaku yang saat itu tersa sangat pusing.
“Kamu dirumah sakit.
Tadi saya tidak sengaja menabrak kamu. Lalu saya membawa kamu kesini. Kamu
tidak apa-apa kan?”
“Iya, saya ingat
sekarang. Saya tidak apa-apa. Terimakasih karena telah membawa saya kesini.”
“Sama-sama, nak. Saya
juga minta maaf karena sudah menabrak kamu.”
Ibu-ibu itu sangat baik, selama dirumah sakitdia terus
merawatku. Dia bersikap seperti ibuku sendiri. Hanya saja sampai saat itu aku
belm tahu siapa namanya.
“Nama Tante siapa?”
“ Oh ya, saya lupa.
Nama saya Lita. Nama kamu siapa?”
“Nama saya Riani.
Terimaksih karena Tante sudah baik sama saya.Dan tante yang selalu merawat saya
selama berada disini.”
“Tidak apa-apa Riani,
kamu menjadi seperti ini itu karena saya. Jadi saya yang harus merawatkamu
sampai kamu sermbuh.”
“Boleh saya minta alamat kamu dan nomor telepon keluarga
kamu?”
“Untuk apa, Tante?”
“Untuk mengabari
keluarga kamu kalau............................:
“Tidak usah, mereka
tidak perlu tahu keberadaan saya.”
“Memangnya kenapa,
nak?”
“Ceritanya panjang
Tante.”
Setelah empat hari berada dirumah sakit, dokter
mengizinkan aku untuk pulang. Aku pulanh keruma Tante Lita.Dia mengizinkan aku
tinggal dirumahnya sampai aku benar-benar tenang.
Tante Lita adalah orang kaya. Rumahnya sangat besar. Tapi
sayang, rumahnya sangat sepi. Seprtinya dia tinggal sendiri dengan
pembantu-pembantunya.
Dia mengajakku masuk kedalam rumahnya. Dan dia juga
mengantarkanku kekamar yang nantinya akan aku tempati selama tinggal drumahnya.
Kemudian dia mengajakku keruang keluarga.
“Nak, maukah kamu menceritakan apa yang kamu alami pada
saya?”
“Gimana ya........”
“Saya janji tidak akan
memberitahukannya kepada siapapun.”
“Baiklah, saya akan
bercerita.”
Aku menceritakan semua kepada Tante Lita. Tentang
orang tuaku, tentang masalahku dengan saudara-saudaraku, bahkan tentang
Dika. Tidak ada yang aku tutup-tutupi lagi saat itu.
“Kamu yang sabar ya, nak. Suatu saat kamu akan bisa
bersama lagi dengan orang tuamu. Biarpun kebahagiaan itu tidak utuh seperti
dulu. Dan semoga masalah dengan saudara-saudaramu segera selasai.”
“ Maksih, Tante.”
Tante Lita memelukku seperti memeluk anaknya sendiri.
Entah mengapa aku merasa kalau tante Lita sangat menyayangiku dengan tulus.
“Oh ya, tadi kamu bilang kalau kamu ingin membalas
perlakuan Dika ke kamu? Kamu bilang kalau kamu ingin membuat dia menyesal?”
“Iya, Tante. Tapi saya masih
bingung bagaimana caranya.”
“saya akan membantu
kamu.”
“Beneran, Tante?”
“Iya, sayang. Saya akan membantu kamu.”
“Makasih, Tante.”
Aku memeluk tante Lita. Aku sangat bahagia bisa bertemu
dengan orang sebaik dia.
“Riani, suami saya
sudah meinggal dua tahun lalu. Dan dari dulu saya belum pernah punya anak. Dan
saya senang sekali dengan kehadiran kamu. Saya sudah menganggap kamu seperti
anak saya sendiri. Saya harap kamu mau menganggap saya sebagai orang tua kamu
sendiri.”
“Tante yang sabar ya.. Iya Tante, saya sudah menganggap
tante sebagai ibu saya sendiri.”
“Makasih, sayang. Maukah kamu memanggil saya............ Mama?”
“Mmmm.......i....iy..iya..Ma....ma.”
Tante Lita terlihat sangat bahagia. Aku senang bisa
membuatnya senang. Dan aku juga bahgia memiliki seorang Mama seperti Mama Lita.
Selama aku hidup dengan Mama Lita, dia banyak membuat aku
berubah. Dia membantuku berubah jauh dari Riani yang dulu. Baik dari fisik
maupun sifat. Mama Lita merubah ku dari ujung kaki sampai ujung rambut menjadi
jauh lebih cantik dari sebelumnya. Dan menjadi wanita yang lebih tegar dan kuat
dari sebelumnya. Hampir setiap hari dia selalu membawaku ke salon untuk
melakukan perawatan.
“Anak Mama sekarang sangat cantik. Beda dari yang dulu.”
“Makasih Ma.. Oh ya,
Ma, aku ingin tidak ada yang tahu kalau aku Riani.”
“Sayang, sekarang kamu
sudah beda, jadi nggak akan ada yang tahu kalau kamu itu Riani. Apa kamu perlu
ganti nama?”
“Sepertinya itu perlu,
ma. Tapi ganti apa ya..???”
Mama
Lita bingung mencarikan nama baru untuk aku.
“Gimana kalau Mama
kasih kamu nama............Hanny?”
“Hanny?? Nama yang
bagus. Makasih, Ma.”
“Jadi, nama kamu
sekarang adalah..Hanny.”
Dirumah,
Mama Lita merundingkan tentang dimana aku akan melanjutkan sekolah. Dia
memberiku kebebasan untuk memilih sekolah. Dan akupun telah mengambil keputusan
tentang sekolah mana yang aku pilih. Dan Mama pun setuju dengan pilihanku.
Di
sekolah baruku, aku memulai kehidupan baru. Aku banyak merubah diriku. Yang
dulunya aku sangat tidak suka berolah raga, sekarang aku mulai belajar bermain
basket, volly, dan dance.
Bagiku
basket dan volly tidak terlalu sulit. Permainan itu hanya membutuhkan
konsentrasi tinggi. Dan bagiku yang sangat sulit adalah belajar dance karena
tubuhku sangat kaku untuk digerakkan. Biarpun begitu aku tidak menyerah, aku
terus berlatih dan berlatih.
Aku
juga mencoba belajar memainkan alat musik, yaitu gitar dan piano. Dan akhirnya
aku pun bisa memainkannya dengan baik. Itu karena aku tidak pernah berhenti
berlatih. Dan karena dukungan Mama Lita juga yang membuat aku berhasil.
Beberapa tahun kemudian.....................
Selama aku menjadi seorang Hanny, hidupku selalu
terpenuhi tanpa ada kekurangan sedikitpun. Aku merasakan kebahgiaan yang luar
biasa. Aku diberikan kebebasan untuk memilih apapun. Biarpun aku diberi
kebebasan, aku masih tetap terjaga dan tidak menyalah gunakan kebebasan itu.
Tak terasa aku sudah menjadi seorang mahasiswa di sebuah
kampus yang aku impikan selama ini. Yakni, Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Dikampus,
aku memiliki sahabat bernama Nita. Dia adalah orang yang selalu ada buat aku.
Dia adalah sahabatku yang sangat aku sayangi. Biarpun terkadang dia sedikit
menyebalakan.
Nita bilang, dikampus banyak mahasiswa yang suka dengan
ku dan ingin menjadi pacarku. Tapi aku selalu berkata pada Nita kalau aku tidak
mau masuk kedalam dunia cinta lagi.
Sampai saat ini tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya.
Dan terkadang aku pun lupa tentang diriku
yang sebenarnya.
Aku menjalani hidup sebagai seorang Hanny adalah sesuatu
yang sangat menyenangkan daripada sebagai seorang Riani.
________----_______
Sampai
jam segini aku belum melihat Nita, biasanya aku melihat dia sudah tiba dikampus
lebih awal sebelum aku. Tapi kenapa sekarang aku belum melihat dia? Mungkin
perjalanan macet yang membuat dia datang kekempus sedikit terlambat.
Daripada
sendiri, aku pergi ke taman kampus. Aku ingin bermain gitar disana.
Saat aku berjalan ke
taman kampus, tiba-tiba ada orang yang menabrakku.
“BRUUKK!!!” Dia membuat
gitar yang aku pegang jatuh.
“Ya ampun, bisa hati-hati nggak?”
“Maaf, aku nggak
sengaja.” Laki-laki itu mengambilkan gitarku yang jatuh.
“Ini gitarmu. Maaf
ya..” Laki-laki itu memberikannya padaku.
“Iya, nggak pa-pa”
Ketika
aku ingin mengambil gitarku darinya, entah mengapa dia justru menahan gitar itu
dan tidak mau melepaskannya. Pandangan matanya lurus kearahku. Aku bingung,
sebenarnya apa yang ada dalam pikirannya saat ini.
“Bisa tolong berikan gitar ini padaku?”
Laki-laki itu tidak
menghiraukan kata-kataku. Dia tetap terus memandangku. Hingga akhirnya aku
melihat salah satu temanku lewat didekatku.
“Rafi, bisa minta tolong kamu suruh dia melepaskan
gitarku?”
Rafi pun menoleh ke
arah laki-laki yang memegang gitarku. Kemudian dia menepuk pundak laki-laki itu
dan menyuruhnya melepaskan gitarku.
“A..mm..mmm.. ini, aku minta maaf.”
“Kamu suka sama gitarku
ini?”
“Mmm..suka?? iyy..iya..bagus kok, bagus.”
“Ya udah, kalau kamu
mau, ambil aja, dirumah masih ada yang lain.”
Aku memberikan gitarku pada laki-laki itu. Sebenarnya itu
adalah gitar kesayanganku. Tapi, tak apalah, berbagi. Dan setelah itu aku
meninggalkannya dan kembali mencari Nita.
“Siapa dia?”
“Ngapain tanya-tanya?
Suka?”
“Cantik banget.”
“Ya, ya, ya. Namanya
Hanny. Dia adalah mahasiswi tercantik dan terpopuler dekampus ini. Tapi satu
hal yang sampai sekarang bikin
cowok-cowok disini bingung dengan dia......”
“Apa?”
“Dia paling susah
dideketin sama cowok.”
“kenapa?”
“Aku punya pacar
namanya Nita. Dia adalah sahabat Hanny. Nita bilang kalau Hanny trauma sama
yang namanya cowok.”
“Apa dia dulu pernah
sakit hati sama cowok?”
“Bisa jadi seperti
itu.”
“Gila. Aku heran siapa
cowok yang berani-beraninya nyakitin cewek kayak dia??”
“Kenapa tiba-tiba kamu
jadi membela dia? Kamu beneran suka sama dia?”
“Mungkin.”
“Huh, terserah deh. Aku
nggak bisa melarang kamu. Good luck aja. Semoga berhasil mendapatkan hatinya.
“Thanks bro. Aku pasti
bisa dapatkan dia”.
________----________
“Nita mana sih...?” Gumamku dalam hati.
Aku lelah mencari Nita.
Tidak mungkin aku mengelilingi kampus sebesar ini. Lebih baik aku menunggu dia
ditaman kampus.
“Hey.!! Pasti nungguin aku, kan?” Tiba-tiba Nita muncul
dari belakang dan menepuk pundakku.
“Huft..!! Darimana aja
sih?!”
“Maaf, tadi aku bangun
kesiangan.”
“Dasar tukang tidur..!!
Ayo masuk kekelas..! nanti keburu
keduluan sama dosennya.”
“Yuk..!! Oh ya, Han,
nanti sepulang kuliah, ada yang mau aku bicarakan.”
“Bukan masalah cowok,
kan?”
“Mmmmm..... nanti aja
lah, kamu kan tahu sendiri.”
“Ok.”
Kukira Dosen nya sudah datang lebih dulu, ternyata dugaanku
salah. Aku pun duduk dibangku dengan membaca cerita-cerita yang sudah kubuat.
Membuat sebuah cerita atau karangan adalah hobiku. Aku sudah sering membuat
cerpen atau novel. Tapi sayangnya dari semua cerita yang aku buat, belum ada
satupun yang aku terbitkan. Padahal kata teman-temanku, cerita-ceritaku bagus
dan pantas untuk terbit.
“Hy..!!” Sepertinya ada yang menyapaku dan berdiri
didepan bangkuku.
“Kamu??? Ngapain?”
ternyata dia adalah pria yang tadi menabrakku.
“Nih, gitar kamu. Aku
emang suka, tapi aku nggak mau
memintanya dari kamu. Karena aku yakin kalau ini adalah barang
kesayangan kamu. Iya, kan?”
“A..emm..mm...”
“Kok dia bisa tahu, ya..?????” Pikirku.
“Maaf, tadi aku telah memakainya sebentar
untuk belajar memainkannya.”
“Kamu nggak bisa?”
“Nggak, kalau kamu
nggak keberatan.....kamu mau nggak bantu kau belajar main gitar?”
“Bantu aja nggak pa-pa. Kalau punya ilmu harus dibagi.”
Lagi-lagi Nita muncul secara tiba-tiba.
“Mmmm....gimana
ya.....?”
“Kalau nggak bisa,
nggak pa-pa kok. Mingkin kamuemang lagi sibuk. Ya udah aku kesana dulu yah.
Bye.”
Aku masih belum bisa menjawab iya untuk tawarannya.
“Han, kamu kok nggak
mau bantu dia sih?”
“Aduhh..gimana
ya....bukannya aku nggak mau bantu dia...tapi................”
“Tapi apa?”
“Aku aja belum kenal
siapa dia?”
“Salah siapa nggak mau
kenalan.”
“Kenalan??? Ih, males
ah! Masa’ aku dulu yang ngajak kenalan?? Aku kan cewek, gengsi tau.”
“Selamat pagi semuanya..... Saya minta maaf karena saya
telat. Tadi ada urusan yang sedikit rumit dan harus segera diselesaikan..”
Dosenku sudah masuk kedalam kelas.
“Eh, Nit, ada dosennya tuh..!! balik ketampat dudukmu, gih..!”
“Oke. Pokoknya ingat,
nanti setelah kuliah.”
“Iya..iya...”
Ketika materi berlangsung, aku sedikit tidak
berkonsentrasi. Aku masih memikirkan pria tadi. Aku bingung, aku harus bantu
dia atau tidak. Kalau nggak mau, aku nggak enak sama dia, dia kan juga ingin
bisa. Tapi kalau aku mau, aku aja masih nggak
kenal sama dia.
Setelah kuliah selesai, Nita datang lagi ke bangkuku.
“Yuk, ikut aku..!
“Kemana? Katanya mau ngomong sesuatu?”
“Ya ini mau ngomong.
Tapi nggak disini. Kita pergi ke restoran apa kemena kek? Aku kan juga laper....”
“Ya udah deh, ayo...”
“Tapi kamu yang traktir
ya...”
“Terserahlah. Ayo.”
Aku pun menuruti kemauan Nita. Dan kita pergi ke restoran
yang lokasinya lumayan jauh dari kampus.
Sesampainya direstoran, Nita yang nencarikan tempat duduk
dan memesankankan makanan untuk kita. Nita itu kalau masalah makan nomor satu.
Tapi tetap saja dia susah gemuk karena seminggu sekali dia selalu pergi
ketempat fitnes dengan kakaknya.
“Kamu mau ngomong apa?”
“Han, apa sampai
sekarang kamu masih nggak mau membuka hati untuk seseorang?”
“Maksudnya? Seseorang
siapa?”
“Ya....seseorang...terserah
kamu. Aku kan sudah sering biilang kekamu kalau banyak yang suka sama kamu.”
“Banyak?? Emang siapa
aja? Perasaan Cuma ada satu? Cuma Rian aja, kan?”
“Ya itu kan yang kamu
tahu.. Dan Cuma Rian aja yang berani ngungkapin langsung ke kamu.”
“Emangnya yang lain ada
ya?
“Nggak cuma ada lagi,
tapi banyak. Udahlah, Han.. lupakan masa lalu mu, kamu harus bangkit. Masa’
cewek kayak kamu sampai sekarang masih singel
aja? Kamu itu cantik, kaya, berbakat lagi.”
Mendengar kata-kata Nita, aku hanya bisa diam. Aku
bingung harus jawab apa. Jujur, aku masih trauma dengan yang dulu. Aku sudah
gagal dua kali, dan aku sudah tersakiti dua kali. Aku nggak mau semua itu
terulang lagi.
“Nita, Hanny,
kalian ada disini?”
“Rafi?? Kesini sama
siapa?”
“Sama temen lah..”
“Ya’ellah..ada si Rafi, pasti sebentar lagi kamu bakal
cuekin aku..”
“Ya ampun, Han... Mana
mungkin aku nyuekin kamu.?”
“Mungkin aja, kan sudah
ada sang kekasih datang.”
“Makanya kalau jadi cewek jangan sombong-sombong dong....
Banyak yang suka kok pada di tolak.”
Aku tersindir dengan kata-kata Rafi.
“Eh, jangan sembarangan
ngomong ya..! kamu itu nggak tau masalahnya...!”
“Siapa bilang kalu aku
nggak tau masalahnya? Kamu trauma kan sama yang............................”
“ Hy, kalian pada ngumpul disini, nih?”
Aku sedikit terkejut
melihat pria yang tadi datang. Apa mungkin dia kesini bersama Rafi?
“Kamu??”
“Oh, hy.. kita ketemu
lagi?”
“Kalian sudah pada
kenal sekarang?”
“Belum sih, Raf. Tapi
apa salah nya menyapa?”
Aku bingung, belum juga sehari, tapi aku sudah bertemu
pria ini tiga kali. Rafi mrngajak kita duduk ditempat yang sama. Kebetulan saja
tadi Nita mendapat tempat duduk yang untuk berempat.
“Nama kamu Hanny, kan?’
“Kok tau?”
“Aku tau dari Rafi.
“Oh ya, kamu anak baru
ya?”
“Iya. Tapi untungnya
belum lama disini aku sudah ketemu sama teman sebaik Rafi.”
“Ya, iya dong...Rafi gitu loh... Nggak usah kaget kalau
aku baik..udah dari dulu. Kalau aku nggak baik mana mungkin Nita mau sama aku?
Iya, kan, Sayang?”
“Apaan sih kamu?” Nita
memukul Rafi yang sudah mulai ke-PD-an itu.
Aku melihat pria itu berbisik-bisik dengan Rafi. Dan
kemudian mata Rafi melirik kerahku. Aku jadi penasaran degan yang dia bisikkan.
“Hanny, masa’ dia udah tahu nama kamu, tapi kamu belum
tahu namanya, sih?” Sindir Rafi sambil merangkul pria yang duduk disampingnya.
“Hanny bilang ke aku kalau dia gengsi memulai duluan...”
“Nita, apaan sih?!”
Nita benar-benar membuatku malu. Pria itu sedikit tertawa
mendengar kata-kata Nita.
“Ooohh..gitu ya.?
Kenalkan, namaku...Han.” Pria itu memperkenalkan diri dengan memberikan
tangannya untuk berjabat tangan.
“Han? Iyy..a.” aku
tidak membalas jabatan tanagnnya.
“Dasar cewek sombong..! Diajak berjabat tangan aja nggak
mau.” Lagi- lagi Rafi selalu mengatakan kalau aku sombong.
“Itu urusanku..! Bisa
nggak sih, sehari aja nggak bilang aku sombong?!
“Sudah, nggak usah
ribut. Yuk makan..!” Nita menghentikan aku dan Rafi yang hampir ribut karena
makanan yang dipesan sudah datang.
“Han, Dulu kamu sekolah dimana?”
Aku dan Han menoleh
bersamaan saat Nita menyebut nama “Han”.
“Kok, jadi noleh
dua-duanya sih? Aku kan cuma manggil Han aja, bukan Hanny..?”
“Oops, sorry, kiarain
manggil aku?”
“Udah sombong, GR-an
lagi?”
Rafi benar-benar menyebalkan. Nggak beda jauh sama Nita.
Rafi seneng banget buat aku malu.
“Kamu biasanya kalau manggil aku Han juga kan?”
“Tapi sekarang kan ada
orang yang namanya Han juga? Lebih pasti pula. Kalau kamu kan Hanny?”
“Up to you.!”
“Tuh kan, aku jadi lupa tadi tanya apa?”
“Kamu tadi tanya, aku
dulu sekolah dimana?”
“Oh ya. Gara-gara
Hanny, nih.......”
Sebenarnya Rafi ini mau mancing kemarahanku atau apa sih? Dari tadi buat orang naik darah
terus.
“Aku dulu SMA di sebuah sekolah yang ada asramanya.”
“Asrama? Kayak
pesantren aja?”
“Emang iya.”
Tak sengaja aku memuntahkan makanan yang saat itu hendak
masuk kedalam mulutku karena terkejut mendengar jawaban Han.
“Uhuk..uhuk...uhuk..uhuk..!!!!”
“Kamu kenapa? Nggak
papa kan?” Han terlihat khawatir ketika aku tersedak. Dia memberiku minum agar
tidak tersedak lagi.
“Nggak papa kok.
Thanks.” Aku menerima minum yang Han berikan padaku.
“Chiyyeeee....!! Perhatian banget......”
“Nita, apaan sih?”
“Han, baru kenal kok
udah perhatian banget? Jangan-jangan............................”
“Nita, udah deh....”
“Biasa aja kali
Han...ny. Nggak usah marah. Aku jadi bingung kalau mau manggil. Kalau manggil
Han, dua-duanya noleh. Kalian jodoh kali ya?”
“Nita...!!”
“Oops! Salah ngomong
ya?”
Nita benar-benar menyebalkan hari ini.
“Han bilang, dulu
diwaktu sekolah namanya bukan Han. Han itu nama barunya setelah menjadi mahasiswa.
Tapi aku nggak tau siapa namanya dulu.”
“Raf, kok kamu bongkar
sih? aku kan bilang kalau ini rahasia.”
“Kenapa sih di rahasiakan? Kasih tau kekita dong...dulu
nama kamu waktu sekolah apa? Biar aku nggak bingung kalau manggil kamu sama
Hanny...”
“Oke lah. Dulu
namaku.........................................................................................”
“Guys,
aku pulang dulu ya, barusan Mama SMS, dia nyaruh aku pulang.”
“Loh, Hanny, kamu mau
pulang sekarang?”
“Iya, maaf ya....”
“Ya udah aku ikut pulang
juga. Antarin aku ke rumah dulu ya?”
“Ya udah cepetan..!”
________-----________
Sesampainya
dirumah, aku segera mencari Mama.
“Ma....Mamaa.....Aku
pulang Ma.....!! Mama mana sih?”
“Non, kata Nyonya, Non
disuruh kekemar Nyonya”
“Iya, bik. makasih.”
Aku menemui Mama didalam kamarnya.
“Sayang, kamu sudah
datang?”
“Ada apa, Ma? Nggak
biasa-biasanya Mama nyuruh aku pulang cepat?”
“Ada yang Mama tanyakan
ke kamu?”
“Apa, Ma?”
Sebelum bertanya, Mama menghela nafas panjang. Aku ingin tau, sebenarnya apa
yang akan Mama tanyakan.
“Hanny, apa sampai
sekaang kamu masih jomblo?”
“Kenapa sih, Ma?”
“Iya nggak papa. Mama
Cuma tanya aja. Apa kamu masih trauma dengan yang namaya..............”
“Jangan sebut nama dia
lagi!”
”Oh, Iya sayang.
Maafkan Mama. Mama lupa.”
Aku selalu melarang Mama untuk membahas seseorang yang
pernah menyakitiku. Aku ingin melupakan semua masa laluku tentang cinta. Karena
menurutku, itu terlalu sakit untuk diingat.
“Tok...tok..tok....!!!” Terdengar seseorang mengetuk
pintu kamar Mama.
Aku pun segera
membukakan pintu.
“Bibik..?? Ada apa?”
“Ada tamu yang mencari
Non.”
“Aku?? Siapa dia? Cewek
atau cowok?”
“Cowok, Non. Sepertinya
dia belum pernah kesini sebelumnya.”
“Belum pernah kesini???
Siapa ya..??? Ya udah, bik, suruh dia masuk. Sebentar lagi aku akan turun.’”
“Baik, Non.”
Tiba-tiba Mama merangkulku dari belakang dan tersenyum.
“Kamu tidak perlu
berpura-pura?”
“Maksud Mama?”
“Dia pasti pacar kamu,
kan? Kamu tidak usah membohongi Mama. Ayo kenalkan sama Mama..!”
“Sumpah, Ma. Aku belum punya
pacar.”
“Ya udah, kalau gitu,
ayo kita temui dia.”
Aku penaansaran, siapa yang datang kerumahku. Mama
mengajakku menemuinya bersasama.
Saat aku sampai tangga, aku sedikit terkejut karena yang
datang adalah dia.
“Kamu?? Ngapain
kesini?”
“Hanny, ada temennya
kesini kok tanya nya gitu...?”
“Hanny, maaf karena aku membuatmu sedikit kaget. Aku
kesini cuma mau tanya sesuatu.”
“Tanya apa?”
“Dulu kamu belajar
gitar dimana? Aku ingin bisa bermain gitar kayak kamu.”
“Ooohh..kamu ingin belajar gitar?”
“Iya, Tante.”
“Kenapa nggak belajar
sama Hanny aja? Dia sudah sangat mahir
Memainkan gitar?”
“Tapi sepertinya Hanny
masih sibuk, Tante.”
Aduhh...Mama
kenapa sih...? Kenapa dia malah nyuruh Han belajar gitar sama aku? Pakek bilang aku sudah mahir lagi?
“Hanny, kamu sibuk apa sih, sayang? Ajarin dia dong.. Kan
dia juga ingin bisa..?”
“Mmm..Ya udah deh. Aku
ambil gitarku dulu. Kita belajarnya disamping kolam renang aja, ya?”
“Kamu mau ngjarin aku?
Makasih banget, Han.....”
“Ya udah, kamu tunggu di belakang, gih..!”
“Iya, Tante.”
“Oh
ya, nama kamu siapa?”
“Nama
saya Han, Tante.”
“Ohhhh....Ya
udah, Han, Tante ke kamar dulu, ya.”
“I..Iya
, Tante.”
Setelah aku keluar dari kamar dan
mengambil gitar, aku melihat Han sedang memegang fotoku dulu ketika aku masih
jadi seorang Riani yang aku pajang di bufet ruang tamu.
Aku langsung berlari turun dan
mengambil paksa foto itu dari Han.
“Jangan
lihat foto ini..!!!”
“Itu
siapa?”
“Bu...bu..bukan
siapa-siapa..!! Lupakan.!!! Ayo kita kebelakang sekarang.”
Aku benar-benar gugup saat
mengajarinya bemain gitar. Aku tidak pernah sedekat ini dengan seorang pria.
Aku melihat Han seperti tidak
berkonsentrasi dan memikirkan hal lain.
“Kamu
memikirkan apa? sepertinya kamu tidak berkonsentrasi?”
“Hanny,
apa aku boleh bertanya sesuatu?”
“Apa?”
Han meghela nafaspanjang sebelum
bertanya.
“Siapa
cewek difoto tadi?”
“Kenapa
kamu tanya tentang itu?”
“Aku
merasa kalau aku mengenalinya, dan bahkan sangat mengenalinya.”
“Kenal?
Maksud kamu?”
“Dulu....aku
pernah..............................
“Hallo, Sayang.......! Gimana
belajarnya?”
“Mama?”
“Tante?”
“Kok,
pada kaget sih? Saya ganggu ya?”
“Enggak
kok, Tante.”
“Iya.
Mama nggak ganggu kok.”
“Han, gimana belajarnya? Sudah
bisa?”
“Sedikit,
Tante. Lumayan susah sih... Kalau nggak biasa, jari-jarinya bisa sakit ya..?”
“Dulu,
Hanny hampir nangis kalau belajar gitar karena tangannya selalu terasa sakit.
Tapi biarpun begitu, dia terus belajar dan berusaha. Hingga akhirnya sekarang
dia sudah mahir.”
“Waah..!! Kamu hebat ya, Hanny..!”
“Biasa
aja kali. Nanti kamu pasti bisa juga kok.”
“Iya.
Oh ya, Han, Tante, saya balik dulu ya, masih ada urusan. Sekali lagi makasih
ya, Hanny, Tante.”
“Iya,
nak. Lain kali kesini lagi ya.”
“Baik,
Tante.”
Aku bingung kenapa Mama bersikap
sangat baik sama Han, padahal Mama baru kenal dia.
“Hanny,
sepertinya Han itu anak yang baik?”
“Mungkin.”
“Mama
setuju kalau kamu sama dia.”
“Mama
mulai deh.....”
“Mama
cuma ingin yang terbaik buat kamu, sayang..”
“Tapi
aku baru kenal sama dia dan aku juga nggak suka sama dia.”
“Kalau
kalian sering ketemu, pasti kalian bisa sama-sama suka.”
“Teserah
Mama deh, aku mau tidur, ngantuk.”
Aku meninggalkan Mama sendiri. Aku
tidak suka kalau Mama sudah mulai seperti itu. Aku tahu kalau Mama seperti itu
juga demi kebaikanku. Tapi jujur, aku masih belum bisa. Aku masih trauama.
________----________
Hari ini, Nita tidak masuk kuliah
karena ibunya sakit. Aku merasa kesepian dikampus. Rasanya sepi kalu nggak ada
Nita. Tidak ada yang melucu seperti biasanya. Kalau aku tahu Nita tidak masuk
hari ini, aku tidak akan datang kekampus lebih awal.
Lalu aku memutuskan pergi
kelapangan untuk bermain basket. Hari ini aku tidak masuk kelas untuk mengikuti
materi. Aku ingin bermain saja.
Ya, ya, ya. Aku bermain sendiri.
Men-dribble bola sendiri, dan
memasukkan bola ke ring sendiri tanpa ada lawan.Tiba–tiba aku melihat seseorang
menangkap bola yang sedang kupantulkan.
“Boleh aku ikut bermain?”
“Han??”
“Nggak
usah kaget. Aku cuma ingin bermain basket sama kamu. Boleh,kan?”
“Kamu
nggak ikut materi?”
“Lagi
males. Kamu?”
“Sama.”
“Ya
udah, ayo kita mulai..!!”
“Oke,
lempar bolanya..!!”
Akhirnya aku dan Han bermain basket
berdua. Tak apalah, biarpun hanya berdua, daripada sendiri.
Cara memainkannya cukup bagus, tapi
aku lebih mendapat sekor yang banyak dari dia. Padahal aku belum lama belajar
bermain basket. Aku senang bisa mengalahkan lawan dalam permainan yang bagiku
dulu sangat sulit.
“Prok..prok..prok....!!!” Aku
mendengar seseorang bertepuk tangan setelah kita selesai bermain.
“Kalian bermain dengan sangat
bagus.”
“Rafi??
Kamu kok disini? Nggak ikut materi?”
“Hanny,
kamu kayak nggak kenal aku aja? Aku kan sering bolos.. lagi males..”
“Dasar..!”
“Han, kamu kok bisa kalah sama
Hanny, sih?”
“Yaa...emang
Hanny lebih mahir dari aku mungkin?”
“Siapa
bilang? Aku belum begitu mahir kok. Aku belajar basket baru dua tahun.”
“Oh
ya? Tapi cara main kamu....aku kasih jempol deh....”
“Makasih......”
“Ce’illehhh...malah
romantis-romantisa-an..”
“Maksud
kamu apa?”
“Han,
aku bilangin ya, kamu kalah sama Hanny itubukan karena cara main Hanny lebih bagus.
Orang Hanny nya aja baru belajar dua tahu n ini kok. Kamu kan udah bisa dari
SMP, nggak mungkin lah kamu bisa kalah sama Hanny..”
Aku heran sama Rafi, kenapa dia
nggak terima banget kalau kalau aku yang menang.
“Terus,
kalau gitu, apa penyebab aku bisa kalah sama Hanny?”
“Penyebabnya................itu
karena kamu nggak konsentrasi sama bolannya, tapi kamu konsentrasi sama
lawanmu.”
“Selain
konsentrasi sama bola, kita kan juga
harus konsentrasi dengan lawan..?”
“Iya
sihhh....tapi kamu terlalu berkonsentrasi, konsentrasinya beda lagi?”
“Maksudnya?”
“Konsentrasimu
dengan............cinta. Iya, kan? Ngaku aja deh...!”
Aku trekejut dengan apa yang
dikatakan Rafi pada Han. Apa benar kalau Han
memiliki rasa sama aku? Aku hanya bisa menunduk saat itu karena entah
mengapa aku merasa sangat malu dan deg-deg-an.
“Hanny, kamu nggak usah dengerin
omongannya Rafi, ya?”
“Han,
kamu disuruh ngaku aja susah banget sih?! Kalau emang suka bilang aja. Aku
bilangin ya, Hanny itu anaknya cantik, berbakat, kaya lagi. Dan dikampus ini
banyak mahasiswa yang suka sama dia. So, kalu kamu lemot, bisa-bisa dia diambil orang..”
Rafi benar-benar membuatku malu.
Dia sama sekali tidak menjaga kata-katanya.
“Raf,
Han, aku pergi dulu ya. Ada urusan mendadak.”
“Hanny,
kamu mau kemana?????!!!! Kamu deg-deg-an ya.....???!! ngaku aja deh..kalau
sebenarnya kalian ini sudah mulai sama-sama suka...!!!!
“Rafi, kamu bikin malu aja.”
“Aku
nggak ada maksud bikin kamu malu, aku
justru mau membantu kamu.”
“Tapi
nggak gitu caranya? Kalau Hanny malah ilfeel sama aku, gimana?”
“Tenang
aja, aku jauh lebih kenal Hanny daripada kamu.
________----________
Malam ini mataku sangat sulit
untuk dipejamkan. Entah mengapa otakku tidak lepas dari lelaki yang namanya
Han. Dn aku juga masih memikirkan Rafi tadi siang. Apa benar Han memang suka
sama aku?
Aku bingung harus bagaimana. Aku
masih Trauma. Sumpah, aku benci banget sama yang namanya Dika. Dia adalah orang
yang menambahkan luka dalam hidupku yang itu membuatku semakin trauma untuk
terjun kedalam dunia CINTA.
“Klung..!” suara SMS masuk di hp
ku.
Hanny,
besokaku sama Rafi maungajak kamu ke pantai Losari yang tempatnya di Makassar.
Daripada mikir kuliah terus, kan jenuh. Lagi pula kita kesananya nggak lama
kok, cuma sehari. Paling yang bikin lama itu perjalanannya. Please..kamu ikut
ya... NGGAK ADA LOE NGGAK RAME..:)
Aku bingung, ikut atau tidak.
Pasti disana aku sendirian karena
mereka akn nyuekin aku. Pasti mereka
akan berdua-dua-an dan aku sendiri. Gimana ya.............?
“klung..!” SMS masuk di hp ku lagi
Hann,
kok kamu nggak bales SMS ku sih.? Kamu nggak mau ikut? Please, Hann ...kamu
ikut ya... nanti kita seru-seruan bareng disana..dan kamu nggak akan merasa
bete’. Aku jamin deh....!
Aku nggak mau membuat sahabatku
kecewa. Dan aku pun bersedia iku dengan mereka. Semoga yang dikatakan Nita itu
kenyataan. Kalau aku nggak akan bete’ disana.
Daripada malam ini aku nganggur
karena sulit untuk tidur, lebih baik aku mempersiapkan semua yang dibutuhkan
untuk besok. Dan setelah semua sudah beres, aku pergi ke kamar Mama untuk
meminta izin. Semoga Mama mengizinkanku.
“Tok....tok...tok.....” Aku
mengetuk pintu kamr Mama berulang kali.
“Mama.....!!!
udah tidur, belum....?”
“Masuk
aja sayang..!!! Mama belum tidur kok.”
Untung saja Mama belum tidur, Jadi
aku bisa minta izin Mama malam ini juga, dan besok aku tinggal berangkat.
Aku duduk disamping Mama sambil
memijat punggungnya. Siapa tau dengan itu Mama mau mengizinkan aku.
“Ma, besok aku mau ke Makassar.”
“Jauh
banget?? Ngapain sayang?? Sama siapa???’
“Mama
biasa aja dong..nggak usah shock gitu. Aku kesana mau.......mau.........
“Mau
apa? jangan bohong sama Mama.”
“Aku
nggak bohong kok, Ma.... Aku lagi ada tugas penting dari kampus. Dan aku
kesananya bareng-bareng kok Ma... Jadi Mama nggak perlu khawatir sama aku.”
“Tugas
apa? Kok samapi ke Makassar?”
“Ya....pokoknya
penting deh, Ma. Nggak papa kan, Ma?”
“Huuuhh...
Ya udah deh. Pokoknya Mama nggak mau kalau terjadi apa-apa sama kamu disana.
Dan Mama mau kamu kembali dengan selamat.”
“Oke,
Mama.... Aku sayaaaaang banget sama Mama..”
Aku senang karena Mama
mengizinkan aku untuk pergi besok. Tak apalah biarpun harus berbohong, asalkan
semuanya beres.
Setelah itu, aku keluar dari kamar
Mama dan kembali kekamarku. Kemudian aku segera memberitahu Nita kalau aku amau
ikut dengan dia dan Rafi besok. Nita pasti senang kalau aku ikut dengannya.
Besok, Nita menyuruhku untuk datang ke
pelabuahan. Nanti kita bertiga kan kumpul disana. Setelah itu, kita berangkat.
Sekarang aku sudah mulai merasa
ngantuk. Mataku sudah mulai berat. Dan aku memutuskan untuk tidur saat itu
juga.
Keesokan harinya, aku bangun lebih awal
karena aku harus sudah sampai di pelabuhan pukul 09.00. Untung saja aku sudah
menyiapkan semuanya tadi malam. Jadi pagi ini aku tidak perlu menyiapkan barang
terlalu banyak.
Aku hanya tinggal memasukkan
barang-barang kecil kedalam tas. Tapi menurutku itu adalah barang-barang yang
sangat berharga. Seperti, alat-alat P3K, cosmetik, kamera, buku diary, dan
lain-lain.
Sesampainya di pelabuhan, aku
segera mencari Nita dan Rafi. Hampir sepuluh menit aku tidak menemui mereka.
Dan anehnya, aku justru bertemu dengan Han.
“Hanny??”
“Han??”
“Kamu
mau kemana?”
“Aku
mau ke Makassar sama Nita dan Rafi. Kamu?”
“Sama.
Jadi kamu juga diajak?””
“Iya.
Kamu juga?”
“Yaa....begitulah.”
Aku sama sekali tidak menyangka
kalau Nita dan Rafi juga mengajak Han. Aku bingung, kenapa tadi malam Nita
tidak mengatakan kalau Han juga ikut dalam acara rekreasi mereka? Apa mungkin
ada rencana lain dibalik ini semua?
“Hy, Han, Hanny, kalian udah datang..?
Maaf, aku sama Rafi datang telat karena
tadi mobil aku ada sedikit kerusakan.”
“Kok
kalian nggak bilang kalaku kita pergi berempat?” Tanpa sengaja Aku dan Han
mengeluarkan pertanyaan yang sama.
“Chiyee...!! sehati nih......”
“Nita
nggak usah gitu, deh...!”
“Kenapa
sih, Hann? Kamu malu?”
“Tau’ah,
terserah. Jam berapa kita berangkat?”
“Sekitar
tujuh menit lagi. Ya udah, kita siap-siap disana, yuk,,,!”
_________----________
Kapal yang akan kita naiki sudah
sandar dipelabuhan. Dan kita pun segera naik kekapal. Saat kita sudah berada
didalam kapal, kita langsung mencari tempat yang sudah dipesan.
Beberapa menit kemudian, kapal
pun mulai berlayar. Aku senang sekali bisa berada dalam kapal karena ini
mengingatkanku saat aku masih menjadi seorang Riani dulu. Dan ini juga
mengingatkanku dengan kedua orang tuaku saat keluargaku masih utuh.
Ketika malam, aku, Nita, Rafi,
dan Han berjalan-jalan bersama diatas kapal. Kita semua menikmati pemandangan
laut pada malam hari. Ini terasa sangat
indah. Hawa yang sejuk membuat suasana menjadi sangat romantis.
Nita dan Rafi jalan-jalan
berdua, mereka meninggalkanku dan Han sendiri di ujung kapal. Sudah kuduga,
Nita dan Rafi akan meninggalkanku sendiri. Tapi, untung saja ada Han, jadi aku
tidak merasa sendiri.
Aku menjadi sedikit gugup ketika
Han berdiri disampingku.
“Hanny...”
Han tersenyum padaku.
“I...iy..iya”
“Pemandangannya
bagus, ya...?”
“Sangat
bagus.”
Oh, Tuhan.....kenapa aku bisa
deg-deg-an seperti ini?
“Hanny,
kamu tahu film TITANIC, kan?”
“Tahu,
memangnya kenapa?”
“Mmmmm...Kalau
seandainya yang kita naiki ini kapal TITANIC, kamu mau nggak, kalau kamu jadi
Rose nya dan aku jadi Jack nya?”
Aku terdiam seketika mendengar
kata-kata Han. Aku terdiam bukan karena aku merasa malu atau apa. Tapi aku
terdiam karena aku ingat kata-kata itu pernah diucapkan Dika waktu bicara
denganku didalam telepon.
“Nggak!” Aku berkata dengan
sedikit bernada tinggi.
“Kenapa?
Kamu nggak mau?”
“Bisakah
kamu mencari kisah romantis lain yang berlokasi didalam kapal selain kisah Jack
dan Rose dalam kapal TITANIC?”
“Bukannya
itu kisah yang sangat indah?”
“Itu
buruk bagiku! Maaf, Aku ingin kembali kekemar.”
“Hanny..!” Han menarik tanganku
ketika aku hendak pergi.
“Lepaskan
tanganku...!!” Aku menarik tanagnku darinya.
“Maafkan
aku jika kata-kataku membuatmu marah.”
Aku tak menjawab apa-apa ketika
dia meminta maaf. Aku langsung pergi meninggalakannya.
Kata-kata Han benar-benar
membuatku teringat dengan Dika. Aku tidak ingin mengingatnya lagi. Dan bahkan
aku ingin melupakan rencanaku, yakni untuk membalas semua yang telah dia
lakukan padaku.
Sesampainya dikamar, aku menulis
dibuku diary ku. Saat ini aku sedang rindu dengan orang tuaku dan teman-teman
SMA ku dulu. Aku menjadi merasa bersalah karena telah meningglakan mereka
secara tiba-tiba dan tanpa kabar.
Lama-lama, aku sudah mulai
mengantuk. Dan akupun merapikan semua barang-barangku lalu tidur.
Keesokan harinya, Nita dan Rafi
mengajakku dan Han berjalan-jalan diatas kapal lagi. Dan sekaligus mencari
makanan dilantai atas. Entah mengapa aku menolak ajakan mereka. Aku merasa,
setelah kejadian tadi malam, ketika aku mendengar Han mengucapkan kata-kata
sama yang pernah Dika ucapkan, aku jadi tidak ingin lagi dekat dengan dia.
“Hanny, kenapa kamu nggak mau
ikut dengan kita? Apa kamu masih marah dengan kata-kata ku tadi malam?”
“Eng..eng..enggak
kok, Han. Aku cuma lagi males aja dan........lagi nggak ingin kemana-mana.”
“Han, emang tadi malam kamu
ngomong apa sama Hanny?”
“Aku
cuma ngomong, kalau
seandainya.....................................................”
“Nggak
usah dilanjutkan.!!! Aku nggak mau dengar itu lagi..!”
“Baik,
Hanny. Aku minta maaf. Aku nggak akan mengulangi kata-kata itu lagi.”
“Hanny, kamu aneh bangeet sih? Ya
udah deh, kalau kamu nggak mau ikut. Kita pergi bertiga aja. Ayo Raf, Han..!”
“Maaf,
Nit, Raf, sepertinya aku juga nggak bisa ikut. Aku disini aja.”
“Terserah
deh. Kalian nggak asyik..Huft..!”
Kenapa Han tidak ikut dengan
Rafi dan Nita? Kenapa dia lebih memilih disini? Aku tidak ikut dengan mereka
karena kau tidak mau dekat dengan Han, tapi kenapa dia justru menemaniku
disini?
“Kenapa kamu nggak ikut mereka?
Kamu kan belum sarapan?”
“Kamu
juga belum, kan?”
“Iya,
tapi.............”
“Aku
disini aja sama kamu. Aku tahu kalau sebenarnya kamu masih marah sama
kata-kataku. Iya, kan?
Aku hanya diam dan tak menjawab
apa-apa.
“Mmmm....apa
sebaiknya kamu tidak berada diluar saja?”
“Memangnya
kenapa?”
“Yaaaa........tidak
baik aja kalau cewek sama cowok berdua dikamar. Kalau seandainya disini ada
Nita, kamu nggak pa-pa ada disini.”
“Oooohhhhh...
Ya, udah. Aku balik ke kamarku dulu.”
Ombak dilaut sangat kencang
sehingga terasa sampai dikamarku. Ini membuat kepalaku pusing dan mual.
“Huueeekk.....!” perutku
benar-benar sakit.
“Hanny..!!
Kamu nggak papa?” Han masuk lagi ke kamarku karena mendengar aku muntah.
Dia
terlihat sangat panik. Dan bingung harus berbuat apa. Dia menyuruhku meebahkan
diri saja.
“Kamu kenapa?”
“Nggak
papa kok. Cuma mabuk laut aja. Goyangan ombaknya terasa banget. Itu yang buat
aku pusing dan mual.”
“Kalau
gitu, kamu istirahat aja, ya. Aku akan temani kamu disini.”
“Thank’s.
Han, boleh aku minta tolong sesuatu?”
“Apa?”
“Ambilkan
minyak kayu putih di tasku..”
“Iya.”
Han benar-benar sangat perhatian.
Dia selalu ada saat aku butuh.
“Han,
minyaknya ada, kan?”
Han
tidak menjawab pertanyaanku. Dia memegang tasku lama sekali. Padahal aku sudah
melihat dia memegang minyak itu.
“Hanny, ini milik siapa?” Han
memegang buku diaryku.
“Berikan
padaku..!!!” aku turun dari ranjang dan merebut diry itu darinya.
“Iti
punya siapa?”
“Ini
punyaku.”
“Kenapa
disampulnya tertulis nama “Riani”?
“A..mmm...mm..itu....dulu....itu
dulu milik sahabtku yang bernama Riani. Dia memberikan Diarynya sebelum dia
pindah ke Bali.
Aku heran, kenapa Han begitu
penasaran dengan diary yang masih kuberi nama “Riani” dihalaman depannya. Dan
aku melihat matanya masih kearah diaryku. Dan dia juga terlihat seperti
memikirkan sesuatu yang sangat penting.
Aku segera memasukkan diary itu
kedalam tas lagi.
“Han,
kamu memikirkan apa?”
“A..emm..ti..tidak..aku
tidak memikirkan apa-apa. kamu istirahat lagi aja.”
Aku pun kembali merebahkan diri
sambil mengoles minyak kayu putih dileher dan dadaku. Sedangkan Han masih tetap
duduk disampingku.
“Hanny, aku boleh tanya sesuatu,
nggak?”
“Apa?”
“Kalau
cewek hatinya sudah disakiti sama cowok yang dia sayang, kira-kira....sembuhnya
lama, nggak?”
“Tergantung.
Emang kenapa?”
“Apa
kamu pernah disakiti sama pria yang kamu
sayang.”
“Sering.
Please..janagn tanya yang kayak gitu. Itu semua terlalu sakit untuk diingat,
ok.”
Han terlihat aneh setelah melihat
buku diaryku tadi. Wajahnya menjadi sangat gelisah dan pertanyaannya aneh-aneh.
Apa mungkin di teringat dengan masa lalunya dengan seorang wanita yang
menyayangi dia?
Beberapa menit kemudian, Nita dan
Rafi datang dengan membawa makanan untuk aku dan Han.
“Kalian asyik banget berduaan
dikamar?”
“Iya,
kayak pengantin baru aja.”
“Nita..!
sembarangan aja kalau ngomong..!”
“Santai
aja dong, Hann..... Oh, ya, Aku sama Rafi bawaan kalian sarapan, nih..”
“Maksih
ya..”
“Hanny..!
sombong banget sih.! bilang makasih kayak Han gitu napa?”
“Ya,
makasih.”
Entah mengapa selalu ada
pebuatanku yang dimata Rafi adalah suatu perbuatan “SOMBONG”.
“Hanny... makan dulu ya...”
“Nanti
aja, Han. Perutku masih sakit, dan kepalaku juga masih pusing.”
“Tapi
tetap aja kamu harus makan dulu. Aku suapin, ya?”
“Ya’elllaahhh..... Selain sombong,
nih cewek manja juga, ya?”
“Rafi,
kamu bisa ngerti aku sedikit aja?”
“Nggak.
Aku bisanya ngertiin Nita.”
“Jangan
gitu lah, Raf.... Hanny kan sahabat aku juga..”
Akhirnya, dengan sedikit malu dan
gugup, aku mimbiarkan Han menyuapiku. Sedangkan Nita hanya tersenyum melihatku.
________----________
Setelah beberapa hari melakukan
perjalanan diatas kapal, sekarang sampailah kita di Makassar. Dan kita pun
langsung melanjutkan perjalanan menuju pantai Losari. Kita tidak perlu menyewa
tempat untuk menginap karena Rafi mempunyai sauudara yang tinggal tidak jauh
dari pantai.
Dirumah saudara Rafi, kita
istirahat stu hari full. Kita baru pergi ke Pantai dihari kemudian.
Aku tidur satu kamar dengan Nita
dikamar tamu yang berada dilantai dua. Sedangkan Han dan Rafi tidur dikamar
sebelahnya.
Ketika malam hari, aku merasa
tidak ingin tidur. Aku memutuskan untuk mencari udara segar diluar sambil melihat
sekeliling kota Makassar yang belum penah akau kunjungi seelumnya.
Aku berjalan-jalan menyusuri jalan
raya seorang diri. Walaupun ak tidak tahu selik-beluk kota ini, aku tetap ingin
terus melanjutkan langkahku.
“Klung..!!!” Suara SMS masuk di hp
ku.
“Hanny,
kamu dimana? Kenapa dikamar hanya ada Nita?”
SMS itu dari Han. Entah mengapa
dia mncariku dimalam hari seperti ini.
“Aku
lagi jalan-jalan.”
Aku
hanya menjawab singkat SMS darinya. Hingga kemudian dia mengirim SMS lagi.
“Ini
sudah malam, Hann.... Apa kamu sudah tahu seluk-beluk kota? Akan bahaya kalau
kamu pergi sendiri dimalam hari, apalagi kamu seorang perempuan. Aku harap kamu
segera kembali.”
Dia begitu perhatian denganku.
Kata-katanya memang ada benarnya, tapi aku tidak memperdulikaanya. Aku masih
tetap ingin berjalan-jalan.
“Maaf,
aku nggak mau balik sekarang. Aku bosan dikamar. Aku masih ingin jalan-jalan.
Thank’s karena udah perhatian. Tapi Sorry, aku nggak mau balik dulu.”
Setelah aku SMS seperti itu, dia
tidak membalasnya lagi. Mungkin dia langsung tidur dan tak memikirkan apa-apa
lagi.
Aku
berjalan sudah cukup jauh. Tanpa kusadari kalu ini sudah pukul 00.30. Aku ingin
kembali kerumah, tapi bodohnya aku karena lupa jalannya. Aku bingung harus bagaimana. Aku mencoba
Menelepopon Rafi dan Nita tapi tidak di angkat.
“Hanny...............!!!!!” Ada
seseorang berteriak memanggil namaku dari belakang.
Aku
pun segera menoleh ke arahnya.
“Han..??????”
Aku melihat Han berlari kearah ku.
“Han, kamu mau kemana?”
“Aku
mau jemput kamu, Hanny.”
“Aku????
Kamu berlari jauh-jauh dari rumah kesini hanya untuk menjemput aku?”
“Iya.
Aku khawatir sama kamu. Aku nggak mau
kalau ada apa-apa sama kamu? Ini udah malam, Hann... Ayo kita balik.”
Aku sangat tidak menyagka kalau
Han sampai seperti ini. Dia rela lari jauh dimalam hari hanya karena khawatir
sama aku.
“Mmmmm.......Ya udah deh, ayo
pulang. Sorry, dah bikin kamu capek.”
“Nggak
papa kok Hann, yang penting sampai disini nggak ada hal buruk yang terjadi sama
kamu. Aku dah lega sekarang.”
Han benar-benar membuatku terdiam
tak bisa berkata apa-apa.Dia sangat baik dan perhatian dengan ku. Aku tidak tahu maksud dari semua ini.
Akhirnya, kita berdua berjalan
kaki di malam hari menuju rumah saudara Rafi. Sebenarnya perjalanan ini sangat
jauh, tapi entah mengapa rasanya cepat sekali. Mungkin karena ini sangat
menyenangkan.
Kita sampai dirumah pukul 01.50.
dan kita memutuskan untuk langsung tidur agar besok kita menjadi lebih fresh.
Pagi yang cerah di kota Makassar
pun telah tiba. Aku, Nita,Rafi, dan Han bersiapp-siap untuk pergi ke pantai.
Kita berangkat kesana dengan menggunakan mobol saudara Rafi. Karena yang tahy
arah menuju pantai Losari hanya Rafi, jadi dialah yang disuruh untuk menyetir
mobil.
Dan selang beberapa menit, kita
pun sampai. Pantainya benar-benar sangat indah. Sudah lama aku tak pernah pergi
kepantai. Aku segera bersiap-siap untuk berenang. Sebenarnya aku tidak begitu
bisa berenang sih, tapi aku sangat
suka bermain air sambil menyelam.
Aku meletakkan tasku di salah satu
tempat duduk yang ada disekeliling pantai. Sebelum aku berganti pakaian renang,
aku menulis diary terlebih dahulu. Aku menulis tentang betapa bahagianya aku
pada hari ini.
Aku tidak memekai baju renang
karena aku malu jika memakai baju yang sangat terbuka seperti baju renang. Aku
hanya memakai kaos berlengan pendek dengan celana se-paha (hotpants).
Saat aku berganti pakain, aku
teringat akan buku diaryku yang belum kumasukkan kedalam tas. Aku hanya
menaruhnya disamping tasku. Aku takut kalau ada yang membacanya karena semua
rahasia tentang diriku tertulis jelas disitu.
Setelah selesai berganti pakaian,
aku segera berlari menuju tempat dimana aku menaruh tas dan diaryku tadi. Aku
terkejut ketika melihat Han memegang dan bahkan terihat seperti membacanya.
Aku pun berlari untuk segera
merebut buku diary itu. Aku melihat Han seperti orang bingung setelah membaca
diaryku.
“Kamu
lancang..!!!!! Beraninya kamu membaca diary ku??!!! Ini privasi orang..!!”
Aku
benar-benar sangat marah atas kelancanhgan Han.
Aku heran, Han tidak meminta maaf
atau berkata apapun. Dia hanya terdiam dan melihatku. Kemudian matanya mengarah
ke dadaku bagian atas sebelah kiri. Dia terlihat mencari sesuatu dibagian itu.
“Han..!!!” Aku sedikit membentaknya
karena aku tidak suka dengan pandanagnnya.
Aku
terkejut ketika dia tiba-tiba sedikit
menarik turunkan leher bajuku. Spontan aku menepis tangannya.
“Luka itu???”
Entah
mengapa tiba-tiba Han seperti itu dan dia menjadi terngangah melihat bekas luka
yang ada di dadaku karena ulah Dika dulu.
“Jadi, Kamu benar-benar Riani???”
“Maksud
kamu apa? Aku Hanny, bukan Riani....!!!”
“Tapi
kamu menulis dibuku diary mu kalau kamu sebenarnya Riani.”
“Itu
bukan aku yang menulis..!!!!”
“Please....
Aku ingin kamu jujur. Apa kamu
benar-benar Riani? Bekas luka yang ada itu menunjukkan kalau kamu
Riani.”
Aku benaar-benar bingung. Kenapa
Han bisa yakin kalau aku Riani dari bekas luka ini? Sebenarnya Han ini
siapa?
“Mmmm....Aku...Aku..... kenapa kamu
sangat yakin kalau aku Riani karena bekas luka ini.”
“Aku
yakin karena aku sangat mengenalinya dan bahkan akulah yang menyebabkan adanya
luka itu dulu.”
“Hey..! Serius amat, lagi ngomongin
apa sih........?” Tiba –tiba Nita dan Rafi datang lalu berdiri di sampingku dan
Hn.
Aku dan Han tidak memperdulikan
mereka. Kita tetap serius dengan apa yang kita permasalahkan saat ini.
“Aku nggak ngerti dengan apa yang
kamu katakan. Kenapa kamu bilang kalau penyebab adanya luka ini itu kamu? Asal
kamu tahu ya, penyebab adanya luka ini adalah orang dimasa laluku yang saat ini
benar-benar aku benci.” Aku bingung kenapa Han bilang kalau dia yang
menyebabkan adanya luka ini.
“Aku mohon, jawab pertanyaanku. Apa
benar kamu Riani?” Han terus memaksaku untuk mengaku.
“Ok..!!
Aku memang Riani. Tapi itu dulu? Apa hubungannnya dengan kamu kalau aku Riani?
Memangnya kamu siapa?”
Han terlihat sangat terkejut
setelah mendengar pengakuanku. Sedangkan Rafi dan Nita hanya terlihat seperti
orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.
“Jadi selama ini........
Aku..... sudah bertemu dengan kamu? Riani, apa kamu lupa sama aku?”
“Memangnya
kamu siapa?”
“Aku
takut mengakui siapa aku. Aku takut, karena kamu bilang kalau kamu sangat
membenciku.”
“Maksud
kamu? Jangan bilang kalau kamu adalah.............................”
“Ya.
Aku.............Dika.”
Aku sangat shock mendengar apa yang dia katakan. Bagaimana mungkin kalau
sebenarnya Han adalah Dika?
“Han, aku nggak suka dengan
bercandamu. Kenapa kamu mengatakan kalau kamu adalah Dika. Dika itu orang yang
sangat aku benci dan bahkan aku berjanji untuk tidak memaafkannnya sampai
kapanpun.”
“Tapi itulah kenyataannya. Aku memang
Dika. Dulu aku pernah bilang kalau nama “Han” itu adalah nama saat aku menjadi
mahasiswa. Dan namaku ketika sekolah adalah Dika. Tapi entah kenapa, setiap aku
akan menunjukkan siapa aku, selalu saja ada hal yang membuat aku tidak jadi
bercerita. Mungkin karena memang belum waktunya. Dan, mungkin inilah saat yang
tepat.”
Aku tidak berkata apa-apa. Aku
hanya menatapnya dengan penuh kebencian dan kemudian aku lari meninggalkannya.
“Riani.............!!!!!” Dia mengejarku
dan menarik tanganku hingga langkahku terhenti dan berbalik menghadapnya
“Juuiiihhh...!!!” Aku reflek meludahi wajahnya
karena aku sangat benci dengannya jika dia memang benar-benar Dika. Lalu dia
pun segera mengusap wajahnya.
“Hanny..!!” Nita dan Rafi
spontan berteriak karena melihat apa yang aku lakukan. Lalu mereka segera
mendekati kita.
“Riani, aku memang pantas
mendapatkan ini dari kamu. Aku emang salaah. Tapi aku mohon, maafkan aku. Aku
janji, nggak akan mengulangi kesalahan sebelumnya. Aku janji, Riani. Aku
janji.!”
“Plakk..!!!” Aku menamparnya
karena aku muak mendengar janj-janjinya.
“Haruskah
aku percaya dengan janjimu lagi?!!”
“Aku
nggak akan main-main dengan janji ini. Aku benar-benar menyesal.”
“Apa
yang kamu katakan itu cuma OMONG KOSONG.!!!”
Aku kembali lari meninggalkan
dia, Nita, dan Rafi. Aku bahkan membiarkan tasku tetap disitu. Aku hanya
membawa diaryku.
“Riani............!!!”
“Han,
biar aku yang kejar Dia. Lebih baik kamu
sama Rafi bereskan barang-barang dan kita pulang saja.”
“Thank’s,
Nit.”
Aku masuk kedalam mobil dan
menangis.
“Kenapa
aku harus melihat kamu lagi???!!! Kenapa orang yang dekat denganku selama ini
itu kamu???!!! Aku benci sama kamu..!!!!! Aku nggak mau lihat kamu lagi..!!!!”
“Apa salahnya kalau kamu kasih
dia kesempatan?”
Tiba–tiba
Nita masuk kedalam mobil dan duduk disampingku.
“Kesempatan?? Nit, asal kamu
tahu, kalau aku kasih kesempatan, itu sama saja seperti aku siap untuk sakit
hati lagi.”
“Tapi
itu dulu. Sekerang dia berubah. Dia sadar kesalahannya dimasa lalu. Dan bahkan
sekarang dia sayang sama kamu.”
“Sayang??
Aku nggak butuh sayang dari dia! Lagi pula aneh, kenapa dia tiba-tiba sayan
sama aku? Apa karena aku sudah beda dengan yang dulu? Apa karena aku lebih
cantik dari yang dulu? Apa karena itu? Aku nggak mau, orang sayang sama aku
karena fisik. Aku mau orang sayang sama aku karena tulus dari hati.”
Nita memelukku dengan erat. Dia
terus mencoba menenangkanku.
“Hanny,
kamu nggak boleh salah paham dulu........................”
“Udah
lah, Nit, aku nggak mau ingat dia lagi. Aku nggak suka kalau kamu bela dia.
Kamu nggak tahu gimana sakitnya aku karena dia dulu.”
“Aku
tahu perasaan kamu, Hanny. Dan aku juga nggak bermaksud membela dia tapi aku
hanya....................”
“Hanya
apa? Sudah, Nit. Aku ingin pulang hari ini juga. Aku akan memesan tiket pesawat
agar perjalannya lebih cepat.”
Lama kemudian, Dika dan Rafi
masuk kedalm mobil.
“Nit,
aku pulang naik taxi aja. Aku nggak bisa satu mobil sama kalian.”
“Tapi,
Hann... “
Aku turun dari moil dan segera
mencari taxi.
“Riani.............!!!!”
Dika turun dari mobil dan mengejarku.
“Aku
mohon jangan ganggu aku..!!!”
“Riani,
aku minta maaf. Aku minta, kamu pulang sama kita, ya..?”
“Nggak.!!!”
“Please..............”
“Eh,
Dik, aku nggak mau lihat kamu lagi! Jadi aku nggak mau satu mobil sama kamu!
Kamu tahu itu?!!”
Untung saja ada taxi yang
lewat. Aku pun segera menghentiknnya.
“Taxi..!”
“Riani,
please.....”
Dika terus menghalangiku masuk
kedalam taxi.
“Minggir..!!!!!”
Aku mendorongnya agar tidak menghalangiku lagi.
“Jalan
cepat, Pak.”
Setelah sampai dirumah , aku
langsung masuk kedalam kamar dan menutup pintu. Aku tidak bisa mengunci pintu
kamar karena itu bukan kamrku sendiri. Aku mengemasi semua baeang barangku. Aku
ingin pulang lebih dulu karena aku tidak mau jika harus pulang dengan Dika.
Selang beberapa waktu, Nita
datang dan menghalangiku mengemasi barang.
“Hanny..!
Kamu mau kemana?”
“Aku
mau pulang.!”
“Hanny,
kita berangkat bersama, jadi kita juga harus pulang bersama.”
“Nggak!!!
Aku nggak mau pulang sama laki-laki itu.!!! Aku sudah pesan tiket pesawat. Dan
aku akan pulang besok pagi.”
“Pesankan
tiga tiket lagi. Kalau kamu pulang besok pagi, kita semua harus pulang pagi
bersama.”
“Nggak!!
Aku kan sudah bilang, aku nggak mau pulang sama dia!! Paham!!!”
Nita keluar dari kamar, entah
kemana. Dia memaksa agar aku mau pulang bersama-sama. Aku aka terus menolak
melakukan sesuatu apapun jika disitu ada Dika.
________-----________
Keesokan harinya, aku segera
bersiap berangkat kebandara. Tapi anehnya, saat aku bangun, Nita sudah tidak
ada disampingku. Aku berfikir kalau dia sedang berada dikamar mandi. Aku tidak memberitahunya
kalau aku akan berangkat.
Aku terkejut ketika melihat
Nita, Rafi, dan Dika suda ada didepan rumah. Mereka terlihat rapi dan hendak
pulang juga. Nita sudah memegang tas kopernya, Rafi dan Dika juga sudah
menggendong tas ranselnya.
“Kamu sudah siap untuk pulang,
Hanny?”
“Kalian
mau kemana?”
“Kita
akan pulang bersama, Ok.”
“Terserah!!”
Sangat menjengkelkan. Mereka bertiga
benar-benar pulang hari ini bersamaku.
Aku
tak memperdulikan mereka. Aku pulang dengan Taxi karena aku tidak mau jika
harus satu mobil dengan Dika.
Sesampainya dibandara, aku
segera menguerus barangku lalu naik kepesawat. Aku merasa sangat jengkel karena
tempat duduk Dika bersebelahan dengan tempat dudukku. Seandainya yang aku naiki
adalah angkot, aku ingin berpindah tempat agar tidak duduk disamping dia.
Selama didalam pesawat, aku
tidak melihat kearah Dika sedikitpun, Aku hanya melihat kearah jendela.
“Riani..?”
“Hmm..?”
“Kamu
masih marah?”
“Itu
bukanlah sesuatu yang perlu ditanyakan. Karena itu pasti.!”
“Riani, apapun akan aku
lakukan, tapi aku mohon...maafin aku..”
“Aku
nggak butuh itu. Karena aku tahu itu hanya omong kosong.!!”
“Aku
serius, Riani. Please.....”
“Aku
ingin kamu pergi. Aku ingin kamu keluar dari kampus tempat aku kuliah. Dan
setelah itu kamu harus pergi jauh dan jangan sekalipun menampakkan dirimu.!!”
“Maaf,
Ri, kalau itu nggak bisa.”
“Kamu
lupa dengan apa yang kamu katakan barusan?”
“Iya.
Tapi..........”
“Tapi
apa?!”
“Aku
nggak mau jauh dari kamu.”
Aku hanya tersenyum sinis
mendengar kata-katanya. Aku benar-benar muak dengan semua itu. Apa yang dia
katakan sama sekali tidak berpengaruh bagiku. Aku tidak menjawab dia lagi. Aku
hanya diam seolah tidak mendengar apa-apa.
Beberapa jam kemudian aku sudah
tiba di bandara tujuan. Aku segera mencari taxi dan langsung menuju rumah. Nita
terus memanggilku, tapi aku tidak menghiraukannya sedikitpun.
Setibanya dirumah, aku segera
mencari Mama dan ingin memberitahu semuanya. Tapi saat itu aku sama sekali
tidak melihat dia dirumah.
“Non, sudah pulang?” Sapa
pembantuku.
“Sudah.
Mama mana?”
“Nyonya
pergi ke Singapur tadi malam. Dia pergi mendadak karena urusan pekerjaan. Dia
titip pesan sama saya, dia minta maaf sama Non karena tidak sempat pamit.”
“Ya
ampuunn..........!!!!! Berapa lama Mama disana?”
“Kurang
lebih satu minggu-an, Non.”
“A..aahh...!!
Ya udah lal, terserah..!!”
Aku sangat kesal karena
disaat-saat seperti ini Mama tidak ada dirumah. Aku bingung, kepada siapa aku
harus mengadukan ini semua. Rasanya aku
benar-benar marah saat ini.
Didalam kamar aku hanya bisa
menangis dan berteriak. Aku membanting semua yang ada dikamar. Aku menyesal,
kenapa aku harus bertemu lagi dengan dia. Rasanya sangat sakit bila melihatnya.
Karena jika aku melihatnya, aku akan ingat dengan yang dulu ia pernah lakukan padaku.
Satu hari penuh aku berada
dirumah. Aku tidak keluar sama sekali. Dan bahkan aku tidak berkomunikasi
dengan siapapun. Setiap kali Nita meneleponku, aku tidak pernah menjawabnya.
Saat ini aku benar-benar ingin sendiri.
Malam harinya, Dika meneleponku berulang kali.
Tapi aku juga tidak menjawabnya sekalipun. Aku benar-benar benci dengan dia.
Aku memilih me-non aktifkan hp ku untuk menghindari panggilan-panggilan yang
masuk. Dan setelah itu aku tidur dengan tenang dan pulas.
Keesokannya, aku tidak masuk
kuliah. Aku ingin tetap dirumah menenangkan diri. Karena jika aku kekampus, aku
akan melihat Dika. Jika Dika tidak segera keluar dari kampus tempat aku kuliah,
maka aku memutuskan untuk kuliah di Luar Negeri saja.
Ketika dirumah, aku tidak mau
hanya diam dan memikirkan masalahku. Aku ingin mencari kegiatan lain agar aku
bisa lupa dengan itu semua. Kemudia aku berfikir untuk kedapur dan belajar
memasak.
Dengan memasak, aku bisa sedikit
lupa dengan masalahku.
“Riani.....”
Terdengar suara seorang pria memanggilku.
“Kamu?????”Aku
terkejut ketika melihat Dika sudah berdiri dibelakangku.
“Riani,
aku ingin kamu maafin aku..”
“Beraninya
kamu masuk rumah orang??!!! siapa suruh kamu kesini?!!!! Keluar dari rumahku
sekarang..!!!!!! KELUAR..!!!!!
“Aku
nggak akan keluar sebelum kamu maafin aku. Aku janji, aku nggak akan mengulangi
kesalahanku lagi.”
Aku selalu merasa jengkel dan
menjadi sangat marah ketika mendengar Dika mengucapkan JANJI. Saat itu aku
masih memegang pisau yang telah kugunakan mengiris sayuran. Rasanya aku ingin
sekali mengiris mulutnya agar tidak selalu mengucapkan janji. Karena semua
janji yang diucapkan hanya omong kosong belaka.
“Aku minta kamu keluar. Atau
kalau tidak, pisau yang kupegang ini akan melukaimu.!!!”
“Lakukan
apa yang kamu ingin, asalkan kamu mau memaafkanku.”
Mendengar kata-kata nya seperti
itu, membuatku benar benar menggoreskan pisau yang kupegang ketubuhnya. Dan
akhirnya pun, pisau itu aku goreskan pada lengan kanannya sehingga mengeluarkan
darah.
“Aaargkh..!!” Dia merintih
kesakitan sambil memegang lukanya itu.
Aku
hanya diam dan menatapnya dengan penuh kebencian. Aku sama sekali tidak merasa
menyesal setelah melukainya.
“Sekarang, apa kamu masih ingin
tetap disini? Aku sudah membuatmu terluka. Jadi lebih baik sekarang kamu
tinggalkan rumah ini.!!”
“Aku
akan keluar setelah kamu memaafkanku. Aku nggak perduli biarpun kamu membuat tangan
ku terluka. Bahkan, biarpun seluruhnya terluka pun aku akan membiarkannya.
Karena yang terpenting bagiku saat ini adalah mendapat maaf darimu.”
“Kamu benar-benar keras
kepala..!!!!! Pergi...!!!!!”
“Nggak
akan.”
“Kamu.....................!!!!!!!!!”
Saking marahnya aku dengan Dika
karena terlalu keras kepala, tanpa kusadari, aku telah menusukkan pisau itu
didadanya sebelah kanan.
“Ya ampun, apa yang aku
lakukan.” Gumamku dalam hati. Aku tidak menyangka dengan apa yang telah aku
lakukan.
Darah segar mengalir dari tubuh Dika karena tusukan itu. Dia terlihat
pucat seketika. Aku hanya diam dan terengah-engah melihatnya seperti itu.
“Hanny................!!!!!
Apa yang telah kamu lakukan?!!” Tiba-tiba Nita dan Rafi datang. Mereka melihat
apa yang telah aku lakukan. Dan mereka segera menolong Dika yang saat itu
hampir tergeletak karena tak mampu berdiri.
“Hanny..!!! Kamu benar-benar
gila.!!! Apa kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan ini?!!!” Rafi terlihat
kecewa denganku.
“I,
ini, bu, bukan sa, lah di, a. Di, a se,per, ti ini kar,na a,ku” Dika tetap
membelaku dengan suara terbata-bata saat Rafi marah denganku.
“Hann, kenapa kau melakukan
ini? Kalau kamu membenci Han, tetap tidak seharusnya kamu seperti ini sama
dia...!!!”
“AAAA..!!!!!
Aku nggak peduli..!!!! Ini semua gara-gara dia..!” Aku berteriak dan kembali
kedalam kamar. Aku membiarkan Dika dalam keadaan seperti itu dengan Nita dan
Rafi. Saat itu hati dan fikiranku sangat kacau.
“Hanny sangat keterlaluan. Nit,
kita harus segera bawa Han ke rumah sakit sebelum dia kehabisan banyak darah.”
“Iya,
Raf. Kamu benar. Ayo..!”
________----________
Aku menangis didalam kamar. Aku
merasa kalau aku sudah gila. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan ini salah.
Tidak pernah terfikir sebelumnya kalau aku menjadi sejahat ini.
Aku kembali membanting barang-barang
yang ada dikamar. Aku sudah tidak tahu harus bagaimana lagi. Rasanya aku ingin
mengakhiri hidupku ini.
Tiba-tiba hp ku berdering. Itu
adlah telepon dari Mama.
“Hallo, Ma......?”
“Hallo,
sayang...”
“Mama
kapan pulang..?”
“Kamu
kenapa, Hanny? Kamu nangis?”
“Ma,
aku ingin Mama pulang. Ada banyak hal yang Mama harus tahu..”
“Iy...Iya,
Hanny. Mama akan pulang besok pagi.”
“Tapi
apa tidak mengganggu pekerjaan Mama?”
“Tidak,
Hanny. Biar sekertaris Mama yang urus semuanya. Yang penting bagi Mama adalah
kamu, Nak...”
Mama benar baik. Dia sangat
perhatian sama aku. Bahkan, dia lebih mementingkan aku draipada pekerjaannya.
Padahal aku bukan anak kandungnya. Dan perusahaan dia adalah sesuatu yang dapat
enyelamatkan hidupnya.
“Tok....tok...tok...!”
Terdengar seseorang mengetuk pintu.
“Siapa?”
“Bibik,
Non. Didepan ada Non Nita.”
Aku bingung kenapa Nita kesini.
Bukannya dia sedang berada dirumah sakit.
“Iya,
Bik. Sebentar lagi aku keluar.”
“Baik,
Non,
Ak pun turun menemui Nita.
“Ada
apa? Ngapain kamu kesini?”
“Ada
apa?! Kamu tanya ada apa?! Kamu sadar nggak dengan ucapan kamu?!!”
“Sadar.
Kan benar, aku tanya, ada apa? Ngapain kamu kesini?”
“Benar-benar
keterlaluan kamu, ya??!! Han sekarang dirumah sakit. Luka tusukan itu lumayan
parah. Apa kamu tidak ingin kesana untuk menjenguknya dan minta maf sama dia
setelah dia sadar nanti?”
Aku hanya memalingkan pandangan
dengan menahan air mataku yang hampir jatuh. Tapi akhirnya air mataku pun jatuh
juga.
“Ya, aku emang keterlaluan. Aku
sadar kok. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, aku......seperti ini karena
dia.”
“Kenapa
kamu harus menaruh dendam sama dia??!! Kenapa??!!! Hanny yang aku kenal, bukan
seorang pendendam, dan bukan seorang
pembunuh. Hanny yang aku kenal adalah wanita yang baik, wanita
yang........................................”
“Cukup, Nita!!!! Akunggak mau
denger kamu ngomong apa-apa lagi!!! Sekarang, kamu keluar dai rumahku..!!!!!!
KELUAR....!!!!!!!” Aku mulai marah dan mengusir Nita. Aku sudah tidak mau
dengar apa-apa lagi dari dia.
Aku merasa kepalaku akan pecah.
Aku masuk kekamar dan menangis lagi. Aku sudah hampir putus asa dengan ini
semua. Aku tidak kuat lagi.
________-----______
Kesesokan harinya, aku merasa
tidak enak badan. Kepalaku terasa sangat pusing. Mungkin karena aku terlalu
memikirkan masalah ini.
“Hanny..... Mama datang...”
Mama masuk kekamarku dengan terlihat ceria. Tapi wajahnya berubah menjadi
gelisah setelah melihat keadaanku/
“Mama.....?”
“Hanny,
kamu kenapa, sayang?”
“Mama......”
aku bangun dari perbarigan dan memeluk Mama sambil menangis.
“Kenapa, sayang? Kamu cerita
sama Mama...”
“Ma,
selama ini ternyata.......................................”
“Ternyata
apa, Hanny....?”
“Ternyata
Han yang aku kenal baik itu adalah.............”
“Adalah
apa? cepat kasih tahu Mama.”
“Han
adalah..................... Dika.”
“Apa?????
kamu serius??”
“Iya,
Ma.....”
Aku menceritakan semuanya pada
Mama. Dan dia benar-benar tidak menyangka dengan itu semua. Bahkan, aku juga
menceritakan apa yang telah aku lakukan pada Dika sampai dia masuk rumah sakit.
“Aku ini orang jahat, aku udah
hampir bunuh orang, dan
aku.....................”
“Tidak,
Hanny. Kamu bukan orang seperti itu. Kamu anak Mama yang baik, kamu bukan orang
jahat. Ini bukan sepenuhnya salah kamu. Kamu seperti ini karena dia. Ini bukan
salah kamu, sayamg. Kamu tenang, ya...”
“Tapi,
Ma, Nita dan Rafi bilang kalau aku salah, aku jahat.”
Aku terus menangis dipelukan
Mama. Dan aku terus menyalahkan diriku. Tapi Mama selalu mencoba membuatku
tenang. Dia terus menegaskan padaku bahwa aku bukan orang jahat. Dia selalu
membelaku dan berkata bahwa ini bukan sepenuhnya salaku karena menurutnya aku
menjadi seperti i ni karena Dika.
“Sayang, kamu tenang,ya...
Jangan nangis lagi dan jangan pernah kamu menyalahkan dirimu sendiri, Ok.”
“Iy..iya,
Ma. Makasih ya, karena Mama bisa ngerti perasaanku.”
“Iya,
Hanny, sama-sama. Oh ya, kamu pasti eliim makan kan? Yuk kita makan.”
“Iya,
Ma.
Mama sedikit bisa membuatku
lebih tenang. Dia terus menghiburku dengan cara mengajakku membahas sesuatu
yang menyenagkan.
Setelah selesai makan, aku dan
Mama menonton televisi. Mama bercerita tentang apa yang dia lakukan pada saat
berada di Singapur. Dia benar-benar terus berusaha membuatku lupa dengan
masalah ku sampai aku bisa tersenyum lagi.
________----________
Malam harinya, ketika aku hendak
tidur, entah mengapa aku teringat dengan Dika yang saat ini sedang berada
dirumah sakit. Tiba-tiba aku menjadi merasa bersalah dan ingin menjenguknya.
“Untuk apa aku menjenguknya?
Biarkan saja dia dirumah sakit, aku nggak perduli..! Mati juga nggak pa-pa..!!”
Pikirku kemudian.
Aku mencoba menghilangkan
pikiranku tentang dia. Tapi aku tak tahu kenapa iu sangat susah dilakukan. Aku
mencoba memejamkan mataku dan memaksa pikiranku untuk tidak memikirkan Dika
lagi.
Tengah malam aku terbangun karena Dika hadir
dalam mimpiku. Dalam mimpiku dia terus meminta maaf padaku. Tapi aku sama
sekali tidak memperdulikannya dan tidak memaafkannya dan kemudian aku
meninggalkannya.
Aku mencoba memejamkan mataku
lagi, tapi itu sangat susah. Aku pergi kekamar mandi untuk mencuci muka dan kemudian aku bermain gitar. Aku
memutuskan untuk bermain gitar agar aku tidak terus memikirkan Dika.
Aku melihat ke jam dinding.
Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00. mataku masih belum juga bisa dipejamkan.
Aku sudah lelah bermain gitar. Sekarang aku tidak tahu harus melakukan apa
lagi.
Aku hanya berdiam diri
dikamar. Aku melihat foto-foto ku dulu. Aku sangat rindu dengan teman-temanku
tertama Via. Aku juga melihat foto orang tuaku. Dan itu membuatku menangis. Aku
rindu mereka. Aku tidak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang. Mereka pasti
masih memikirkan aku yang hilang dua tahun yang lalu.
Aku tidak tidur sampai pukul
07.00 pagi. Biarpun begitu aku tidak merasa mengantuk sedikitpun. Lalu aku
mandi dan setelah itu keluar. Sebelum itu aku pergi kekamar Mama untuk
berpamitan, tapi aku melihat dia masih tertidur pulas. Aku tidak berani
membangunkannya karena dia terlihat sangat lelah. Aku hanya menitip pesan
kepada pembantu agar disampaikan ke Mama.
Hari ini aku tidak masuk
kuliah. Aku ingin pergi ketempat yang menyenangkan dan bisa membuatku lupa
dengan masalahku.
Ketika masih di perjalanan,
tiba-tiba mobilku berhenti. Dan aku pun turun dari mobil untuk memeriksa apa
yang terjadi.
“Nih mobil kenapa pakek mogok
segala, sih.?!! Gumamku.
Aku
bingung harus bagaimana. Aku ingin membawa mobil ku ke bengkel, tapi aku tidak
menemukannya disekitar sini.
“Mobil kamu kenapa, Hann..?”
Tiba tiba terdengar suara pria dari belakangku.
“Rian????”
“Biasa
aja kali, Hann, ngak usah kaget.”
“Kamu
sih muncul tiba-tiba.”
“Emang
aku hantu? Aku kebetulan lewat sini, terus lihat kamu seperti orang bingung. Ya
udah, aku berhenti. Siapa tahu aja kamu butuh bantuan.”
“Iya,
nih. Mobilku tiba-tiba mogok. Aku bingung soalnya disini jauh dari bengkel.”
“Oh,
gitu..... Aku punya teman kerja dibengkel. Sekarang kamu masuk ke mobilku aja.
Biar temanku kesini dan bawa mobil kamu kebengkel. Ok.”
“Mmmm.....
iya deh. Thank’s, ya..”
Akhirnya aku pun satu mobil
dengan Rian.
“Kamu
mau kemana, Hann?”
“Nggak
tau. Pokoknya aku ingin jalan-jalan.”
“Kamu
ngggak kuliah?”
“Males”
Aku sedikit canggung satu
mobil sama Rian. Karena aku teringat saat dia mengungkapkan perasaannya padaku
tapi aku menolaknya.
“Hann, dengar-dengar kamu
dekat sama anak baru dikampus kita itu?”
“Siapa?”
“Kamu
kok pura-pura nggak tahu, sih? Itu..Si Han.
“Udah
deh, nggak usah bahas dia lagi. Aku males.”
“Emangnya
kenapa? Kamu ada masalah sama dia?’”
“Banyak.”
Rian mengajakku ke sebuah
restoran karena kebetulan tadi kita belum sarapan.
“Hann,
kalau kamu butuh tempat curhat, kamu boleh curhat sama aku.”
“Mm..
iya makasih.”
“Kayaknya
aku melihat kamu seperti sedang memikirkan banyak masalah.”
“Bisa
jadi.”
Sesampainya di restoran, rian
yang memesankan makanan untukku. Dia benar-benar tahu apa makanan dan inuman kesukaanku.
“Kamu kok tahu kalau aku mau
pesan itu?”
“Karena
aku tahu kalau itu makanan favorit kamu.”
“Tahu
dari mana?”
“Seharusnya
itu adalah sesuatu yang tidak perlu ditanyakan.”
“Mm..
gitu, ya..”
Aku sedikit terkejut ketika
Rian tiba-tiba menatapku dengan penuh arti dan memegang tanganku.
“Hann, aku kan udah pernah
bilang kalu aku cinta sama kamu. Itulah kenapa aku bisa tahu makanan favorit
kamu dan apapun yang kamu suka. Aku selalu ingin tahu tentang kamu. Jujur,
Hann, aku cemburu ketika mendengar kalau kamu dekat dengan mahasiswa baru itu.
Aku mohon, kasih aku kesempatan. Aku janji, aku nggak akan nyakitin kamu.
Please, Hann...”
Aku hanya diam dan tak
tahu harus menjawab apa. Karena ini
terlalu sulit bagiku. Aku masih merasa trauma denganyang namanya cinta dan
janji-janji.
“Hanny..!!!” Tiba-tiba Nita
datang dan terlihat marah.
“Nita??
Kamu ngapain disini?”
“Seharusnya
aku yang tanya, ngapain kamu disini sama Rian?”
“Memangnya
kenapa kalau aku disini sama Rian?”
“Kenapa??
Kamu tanya kenapa??!! Hann, kamu punya hati kan??!! Apa kamu tidak ingin pergi
kerumah sakit untuk menjenguk Han??? Dia berada dirumah sakit itu karena ulah
kamu. Dan sekarang dia butuh kamu. Tadi ketika dia sadar, pertama kali yang dia
sebut adalah nama kamu. Dia itu sayang sama kamu, Hann...!!! Coba kamu kasih
dia kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Dia itu.......................................”
“Cukup..!!! aku nggak mau
dengar kamu lagi..! Nit, kamu itu sahabat aku. Kenapa kamu nggak bisa kasih aku
waktu untuk tenang?? Kenapa kamu nggak mau bela aku?? Kamu ngak tahu gimana
sakitnya aku dulu????!!!!
“Ini sebenarnya ada apa? ada
hubungan apa Hanny sama Han?”
“Rian,
kamu diam, ya..! kamu nggak tahu apa-apa tentang masalah ini.”
“Tapi,
Nit, aku nggak bisa lihat kamu marah-marah sama Hanny.”
“Aku
seperti ini cuma ingin membuat Hanny sadar.”
“Diam kalian semua...! Ak
mau pergi...!
“Hanny...!
Tunggu....! Aku akan antar kamu.”
Didalam mobil aku terus
menangis. Dan Rian terus membujukku untuk menceritakan sebenarnya apa yang
terjadi. Tapi aku tidak mau menceritakannya sedikitpun.
“Rian, aku minta tolong,
kamu antar aku kerumah sakit sekarang.”
“Iya,
Hann.”
Aku ingin bertemu dengan Han
untuk memperingatkan dia agar tidak lagi mengganggu hidupku dan merusak
persahabatanku dengan Nita.
Sampailah aku dirumah sakit.
Aku meminta Rian agar tidak ikut menemui Han. Kemudian aku segera mencari kamar
Han. Dan selang beberapa menit aku sampai dikamar Han. Aku melihat ada Rafi
disitu. Sepertinya Dia dan Nita yang menunggui Han dari kemarin,
“Riani..?? Aku seneng kamu
datang kesini.”
“Kamu
seneng, aku menderita. Ini adalah terakhir kali aku menemuimu. Dan aku berharap
aku tidak bertemu kamu lagi”
“Hanny, kamu tahu kondisi
Han seperti ini, jadi tolong bicara lah sesuatu yang bisa membuat dia senang
agar dia cepat sembuh dan kembali sehat sepeerti sebelumnya.
“Nggak..!
aku nggak mau mengatakan sesuatu yang menyenangkan dia, karena aku nggak mau
dia sembuh. Dan aku berharap agar dia mati..!! Dalam keadaan sakit saja dia
selalu mengganggu hidupku, apalagi kalau dia sembuh?? Mungkin hidupku akan
hancur karena dia..!
“Hanny..!!!!!
Jaga mulut kamu, ya.!!!”
“Rafi, jangan kamu marah
sama Hanny.”
“Tapi
dia keterlaluan..!!!”
“Dia
seperti ini karena kesalahanku dulu. Jadi ini bukan salah dia.”
“Bagusla
kalau kamu nyadar..!
“Riani...
Kalau emang kamu ingin aku pergi, aku akan pergi. Tapi sebelum itu, aku mohon
maafkan aku. Aku benar-benar menyesal dengan apa yang pernah aku lakukan, dan
aku janji , aku
akan...............................................................”
“Cukup..! jangan lanjutkan
kata-katamu. Aku sudah bosan mendengar kamu mengatakan janji-janji palsu....!
Dan karena aku nggak mau lama-lama disini, aku nggak akan basa-basi lagi. Eh,
Dik, aku peringatkan kamu, jangan pernah menggaggu hidupku lagi. Dan gara-gara
kamu persahabatanku dengan Nita hampir berantakan. Dan aku minta setelah kamu
sembuh, kamu harus pergi jauh dari hidupku. Tapi....aku berharap kalau kamu
mati aja, karena kalau kamu mati, sangat pasti aku tidak akan bertemu lagi,
kapanpun itu. Ngerti kamu..!!! jadi lebih baik kamu mati aja..!!”
“Hanny.. kamu bener-bener
wanita nggak punya hati..!!!
“Sorry,
Raf. Aku jahat seperti ini karena dia. Aku pergi dulu. Nggak betah lam-lama
disini...!”
Aku segera keluar dari
kamar. Tapi saat aku hendak membuka pintu kamar, aku mendengar Dika mengatakan
sesuatu.
“Riani, maafkan semua
keslahanku. Aku sangat menyasal. Dan kalau memang itu permintaan kamu dan itu
juga akan membuat kamu bahagia, aku janji, aku akan segera pergi dari kehidupan
kamu.”
Aku tidak mengatakan
apa-apa setelah dia berkata seperti itu. Aku hanya tersenyum sinis tanpa
menolehnya. Dan aku berharap janjinya kali ini bisa dia tepati.
Setelah keluar dari rumah
sakit aku meminta Rian untuk mengantarku pulang.
“Hanny, gimana dengan Han?”
“Ku
harap dia segera mati.!”
“Apa
kamu benar-benar sangat membencinya?”
“Seluruh
jiwa an raga ku, sampai hidup dan matiku, aku sanagt membencinya. Kamu faham?!”
“A..emm..i..i..ya.
Aku faham kok.”
Mungkin Rian tiak menyangka ada
wanita seperti aku. Dia terlihat kaget ketika aku menjelaskan seberapa bencinya
aku sama Dika. Tapi aku tak peduli, karena yang membuat aku menjai seperti ini
adalah Dika sendiri.
Sesampainya dirumah, aku melihat Mama
sedang duduk sanatai di teras rumah sambil membaca majalah.
“Rian, Thanks Ya, udah ngantar aku.”
“Ok.
UrWel. Mm...btw..kamu nggak nawarin aku mampir kerumah kamu?”
“Oh,
kalau kamu mau mampir, mampir aja, nggak papa. Kenapa nunggu ditawarin dulu?”
“A..emm...nggak
deh, kapan kapan aja. Makasih..”
“Makasih
untuk apa? aku kan nggak nawarin kamu???”
“Tadi......???
“Enggak,
aku Cuma ngebolehin aja kalu kamu ingin mampir..”
“Ooh..gitu
yah,,, ya udah, aku balik dulu..Bye..”
“Bye..
TT DJ..”
Sesampainya
dirumah, aku langsung menemui mama dan duduk didekatnya untuk menceritakan apa
yang telah aku lakukan di rumah sakit.
“Menurut
mama apa akau keterlaluan..???”
“Emm...gimana
ya.....tapi mungkin tidak, karena yang memebuat kamu seperti itu adalah dia
sendiri.”
“Tapi
banyak orang yang bilang begini, “Tapi kan dia sudah minta maaf...” aku jadi
bingung, ma.....?”
Mama hanya tersenyum lalu
merangkulku.
“Sayang, mama juga tidak tahu harus berekata apa? Kini semua keputusan ada
ditangan kamu. Dan hanya kamu yang tau mana yang terbaik untuk dirimu sendiri.
Hanny...... pesan mama hanya satu, pendapat dari orang itu nomer dua, tapi kata
hatimu lah yang nomor satu karena dialah yang lebih tahu.”
“Gitu ya, ma........?”
“Iya,
sayang.....”
“Tapi
aku bener-bener sakit hati sama perbuatannya dulu, ma.......!!!!”
“Mama
ngerti, Hanny.... maka dari itu mama hanya bisa mengembalikan ini semua pada
diri kamu sendiri. KATA HATI, Hanny.......”
“Oke deh, Ma... Aku akan berfikir lagi. Aku kekemar dulu ya,
Ma...”
“Iya.
Mama percaya sama kamu kalau kamu bisa menentukan yang terbaik.”
“Iya,
ma. Makasih....”
______-------______
Aku membanting diri diatas kasur.
Aku bingung harus bagaimana. Aku bahkan tidak tahu sebenarnya apa permintaan
hatiku. Dan yang aku rasakan kini hanya rasa untuk balas dendam.
Setiap kali aku berusaha untuk
memaafkan Dika, hatiku selalu menolaknya. Apa yang seperti itu yag namanya kata
hati? Atau itu hanya siasat buruk setan?
Aku meremas kuat sepray kasurku.
“Tuhaannnn...!!!
Aku harus bagaimana....?
Beberapa
hari kemudian..............
Akhir-akhir
ini, pikiranku sangat tidak tenang. Dan itu membuat aku tidak konsentrasi saat
kuliah. Entah mengapa aku selalu ingat dengan Dika. Aku ingin marah, aku ingin
menangis, karena mengapa aku harus ingat dengan dia.??!!
Ketika materi berlangsung, aku
memutuskan keluar dari kelas. Aku ingin bermain basket dilapangan agar menjadi
sedikit tenang. Tapi anehnya, ketika aku bermain basket, alku justru teringat
dengan Dika. Oh my God..... What do I do..??
Aku pun berhenti bermain. Lalu
aku duduk dikursi yang ada di pinggir lapangan basket dengan masih
memantul-mantulkan bola. Tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang mendekatiku
dari belakang.
“Riani..........................”
Dia memanggilku.
Aku pun menoleh kebelakang dan berdiri.
“Kamu.....??
“Riani,
apa pintu maafmu belum juga terbuka untukku?”
Aku tak menjawab pertanyaan Dika.
Rasanya hatiku masih diselimuti perasaan marah, kecewa, dan dendam.
“Kamu udah sembuh..?
“Ya, seperti yang kam lihat sekarang.”
“Oh.
Baguslah. Lalu kapan kamu akan menepati janjimu?”
“Apa
kamu sudah benar-benar tidak bisa
memaafkanku?”
Dika melangkah maju semakin
mendekatiku. Dan reflek aku melangkah mundur.
“Riani, Please..... maafkan aku.. Untuk apa aku hidup jika selalu dihantui oleh
rasa bersalah. Aku janji, aku akan pergi setelah kamu memaafkan ku... Aku
Janji..”
Aku terus menatap mata Dika.
Aku ingin tahu, apakah dia benar-benar menyesal? Ternyata, aku tidak menemukan
tanda kebohonga dari matanya. Dan hal itu membuat hatiku bergatar dan membuatku
ingin menangis.
Air mata ku akhirnya menetes.
Aku menangis dihadapannya.
“Dik, kenapa kamu harus hadir lagi? Kenapa? Aku nggak mau ketemu kamu lagi.
Karena setiap kali aku melihatmu, rasanya itu sangat sakit.
Dulu,
aku sangat sayang sama kamu. Tapi kamu hanya mempermainkan peraasanku. Dan
karena rasa sayang itulah, aku tidak ingin kamu sakit hati. Aku nggak ingin
kamu dibodohi oleh wanita yang bukan wanita baik. Aku melakukan banyak cara
untuk menyelamatkanmu. Tapi kamu tidak menghargai itu. Ya, aku tahu, mungkin
caraku salah. Tapi itu aku lakukan kareana aku tidak ingin kamu
terjebak.....!!!! Dan aku..............................”
Aku nggak kuat untuk
melanjutkan lagi. Aku hanya bisa terisak. Rasanya sakit jika harus mengingatnya
lagi.
Dika lebih mendekt lagi dan
kemudian dia memelukku. Entah mengapa aku membiarkan itu terjadi. Aku sama
sekali tidak melakukan penolakan ketika dia memelukku.
“Ri.. Aku minta maaf. Aku
menyesal. Aku memang bodoh karena tidak mendengar kata-katamu dan lebih membela wanita itu. Aku baru sadar kalau dia bukan
wanita yang baik. Aku menyesal tidak mendengarkanmu dan membiarkanmu pergi
begitu saja. Tapi yang lebih membuatku menyesal dan marah pada diriku sendiri
adalah saat aku ingin meminta maaf padamu tapi kamu sudah pergi entah kemana.
Hingga akhinya kini aku menemukanmu. Di kesempatan ini aku benar-benar ingin
bisa mendapat maaf darimu. Terserah kamu ingin menghukumku apa, dan jika kamu
memintaku untuk pergi pun, aku tak mengapa. Asalkan kamu mau memaafkan semua
kesalahanku.”
Kata-kata Dika semakin
membuatku tersentuh dan menangis. Aku membiarkan diriku menangis dalam
pelukannya. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat itu. Apakah aku sudah bisa
memaafkannya atau belum.
“Sudahlah, Dik, semua
sudah berlalu. Jangan membahas itu lagi. Karena itu semua sangat sakit untuk
kuingat. Aku hargai penyesalanmu. Dan aku..................aku memaafkanmu.”
Tanpa kusangka, kata maaf itu pun terucap dari mulutku. Lalu kulepaskan
pelukannya.
“Kamu memaafkan ku....?” Dika
masih tak percaya akan hal itu.
Aku hanya menganggukkan kepala dengan sedikit memberikan senyum.
“Aku tahu kalau Hanny yang
sebenarnya bernama Riani adalah wanita berhati lembut. Yang dalam hatinya tak
pernah menyimpan rasa dendam..”
Tiba-tiba Nita datang dengan Rafi menghampiriku dan Dika.
“Nita..? Rafi..?” Sontakku
dan Dika.
“Selamat
ya...akhirnya kalian damai juga..” Ujar Rafi.
“Hanny,
apa kamu tetap akn meminta Dika untuk pergi..?” Tanya Nita.
“Aku
tak tahu.” Jawabku singkat lalu perjalan pergi menunggalkan mereka yang ada
disitu.
Saat ku pergi, Rafi, Nita,
maupun Dika tidak mencegahku. Mereka membiarkanku melanjtkan langkah kakiku.
Aku tak tahu haru berkeputusan apa sekarang. Rasanya aku sedang mengalami
masalah sangat berat dan dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit.
____-------_________
Seiring berjalannya waktu,
aku dan Dika sudah lumayan dekat tanpa ada rasa canggung. Aku pun tak tahu
kenapa hal itu bisa terjadi. Padahal bekas luka darinya masih belum hilang 1%
dari hatiku. Dan aku juga tidak tahu kenapa aku tidak menyuruhnya untuk segera
pergi seperti yang ia janjikan. Namun aku berfikir; mungkin karena aku sudah
memafkannya dan bersikap baik selayaknya temen dekat, sehingga dia lupa akan janjinya.
Suatu ketika, Dika datang
kerumahku saat Mama sedang pergi ke luar negeri. Dia mengajakku untuk
membicarakan sesuatu di taman dapan rumah. Awalnya aku tak mau karena dia tak
memberitahuku tentang apa yang akan ia bicarakan. Tap karena dia terus memaksa,
akupun menurutinya.
Aku dan Dika duduk berhadapan
di ayunan yang ada di taman. Tiba-tiba dia menatapku dengan tak biasa dan
kemudian memegang tanganku.
“Riani... Terimakasih karena kamu telah memaafkan semua
kesalahanku. Dan tetap membiarkan aku berda di dekatmu. Aku ingin memperbaiki
semua kesalahanku. Dan aku akan berusaha membuatmu bahagia. Walau ku tahu sangat
tak mudah bagi dirimu untuk menerimaku....................................”
“Maksud kamu apa? Cepat
katakan...!” Aku semakin bingung denagn untaian kata-katanya.
“Riani, mauka kamu menjadi
kekasihku....? sejak pertama aku melihatmu lagi, aku sudah mulai memiliki rasa
untukmu. Aku janji aku akan memperbaiki semua dan membuktkan padamu kalu aku
bisa membuatmu bahagia.. “
Aku terkejut mendengar apa
yang ia katakan. Aku sangat tidak menyangka kalau hal ini akan benar-benar
terjadi, tidak hanya dalam bayanganku. Biarpun begitu, aku sudah tiak
menganggap hal ini adalah seseuatu yang WOOWW karena aku sudah tak
memiliki perasaan apapun lagi. Dan aku sudah tidak bsa epenuhnya percaya dengan
apa yang ia katakan kaena dulu dia telah menhancukan kepercayaanku.
“Maaf, aku nggak bisa.”
Ucapku singkat sembari melepaskan tangannya.
“Kenapa..?
Apa kamu tak percaya? Apa kamu meragukanku? Atau apa kamu takut sakit hati
lagai karena aku?
Atau...............................................................’
“
Dik, dengarkan aku.!Sekokoh apapun sebuah batu kalau sering terkikis pasti akan
hancur. Dan kepercayaan itu seperti kertas, apabila sudah diremas dia tidak
akan kembali sempurna seperti semula. Aku harap kamu bisa mengerti maksudku.”
Dika menghela nafas panjang.
“Please...
Aku janji akan memperbaiki semuanya. Ini adalah cara agar aku bisa mebuatmu
bahagia didekatku............................................”
“Masih
ada cara lain. Tak perlu kamu menjadi kekasihku. Cukup kamu menjadi sahabat
yang selalu ada buat aku, itu sudah amat sangat bisa membuatku bahagia
didekatmu.”
Dika menghela nafas panjang
lagi untk yang kedua kalinya.
“Baiklah...
Jika memang itu mau kamu dan itu bisa membuatmu bahagia, aku tidak akan memaksamu
untuk menerimaku. Dan aku akan beusaha membuatmu bahagia..”
“Terimakasih,
Dika. Kau adalah sahabat terbaikku.” Ucapku lega lalu tersenyum.
Dika membalas senyumanku
lalu memelukku. Dan aku juga membalas pelukannya. Karena saat itu aku merasa
nyaman berada dalam pelukan sahabatku. Aku merasa semua keputusanku ini adalah
keputusan yang terbaik. Karena aku yakin dengan persahabatan semua akan menjadi
lebih indah.
Aku dan Dika saling melepas
pelukan. Saat itu aku aku benar-benar merasakan suatu kebahagiaan yang tak
biasa. Aku pun tak tahu apa. tapi aku tak tahu apa yang dirasakan Dika saat
itu. Entah dia juga merasa bahagia atau kecewa.
“Riani, aku ingin bertanya
sesuatu....”
“Apa..?
“Apa
kamu tidak ingin pulang dan bertemu orang tuamu? Mereka pasti sangat
merindukanmu. Dan mungkin tidak hanya orang tuamu, tapi semuanya..”
Aku terdiam mendengar
pertanyaan Dika. Aku menundukkan kepalaku hingga tak sadar air mataku menetes.
“Kamu
kenapa..?” tanya Dika lembut sembari mengankat kepalaku.
“Aku sangat jahat, aku anak durhaka, tidak berperasaan, aku sangat tega
meninggalkan orang tuaku dan semuanya demi kebahagiaanku sendiri. Aku ingin
tahu gimana keadaan mereka sekarang.”
“Jika
kamu ingin bertemu mereka, aku akan mengantarmu.”
“Apa
mereka akn memaafkanku?
“Itu
pasti. Karena kepergianmu dulu itu bukan karena keinginanmu.”
“Makasih,
Dik..”
“Iya.”
1
minggu kemudian................
Hari ini aku bersiap-siap
untuk kembali ke orang tuaku. Aku berangkat dengan Dika. Dia sudah menungguku
diruang tamu dan bersiap untuk berangkat hari itu juga. Aku melihat Mama
menangis. Dia tidak begitu rela jika aku pergi.
Setelah semua siap, Aku
turun menuju ruang tamu untuk menemui Dika.
“Kamu
sudah siap?” Tanya Dika.
“Sudah.”
Jawabku singkat.
“Hanny.....Apa
kamu benar-benar akan meninggalkan mama?” Tanya mama sambil menangis.
Aku memeluk mama dengan
menangis juga. Aku tidak tega melihat mama sendiri.
“Ma,
walau aku sudah kembali pada orang tua kandungku, aku tidak akan melupakan mama
dan semua kebaikan mama. Dan aku akan tetap sering main kesini dengan orang
tuaku. Mama jangan sedih, ya.........”
“Janji ya, kamu harus sering
kesini..?” Mama melepas pelukannya.
“Iya,
ma..”
“Ya,
udah.. Hati-hati ya, sayang...”
“Iya,
ma. Aku pergi dulu.”
Mama
hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum dan menahan air matanya yang akan
terus mengalir.
Akhirnya, aku pun berangkat menemui orang
tuaku. Dan aku berjanji kalau aku sudah bertemu dengan mereka aku akan tetap
sering datang ke rumah mama Lisa. Rumah dimana seorang Riani yang sederhana
berubah menjadi seorang Hanny yang isimewa.
THE
END